Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami
penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya
hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan
beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak
dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi
kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya
sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya.
Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat?
Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan
terus-menerus. Ketika mendengar penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat
tergerak sehingga beliau rnenikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam
kesedihan yang berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa:
Nabi itu lebih utama daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri
beliau adalah ibu bagi orang yang beriman.
Keistimewaan Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya
adalah kedudukannya sebagai putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang
memelopori perientangan terhadap dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu
Sufyan.
Ummu Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan
Muhammad Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb
bin Uinayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya
bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan
bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan r.a.. Sejak kecil Ummu Habibah
terkenal memiliki kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat
cerdas, dan sangat cantik.
Ketika usia Ramlah sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin
Jahsy mempersunting- nya, dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah
terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahirn a.s.. Dia berusaha
menjauhi minuman keras dan judi, serta berjanji untuk memerangi agama berhala.
Ramlah sadar bahwa dirinya telah menikah dengan seseorang yang bukan penyembah
berhala, tidak seperti kaumnya yang membuat dan menyembah patung-patung. Di
dalarn hatinya terbersit keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama
Ibrahim a.s.
Sementara itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad
datang membawa agama baru, yaitu agama Samawi yang berbeda dengan agama orang
Quraisy pada umumnya. Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian
menyatakan dirinya memeluk agama baru itu. Dia pun mengajak istrinya, Ramlah,
untuk memeluk Islam bersamanya.
Mendengar misi Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang
Quraisy menyatakan perang terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah
memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Di antara mereka
terdapat Ramlah dan suaminya, Ubaidillah bin Jahsy. Setelah beberapa lama mereka
menanggung penderitaan berupa penganiayaan, pengasingan, bahkan pengusiran dan
keluarga yang terus mendesak agar mereka kembali kepada agama nenek moyang.
Ketika itu Ramlah tengah mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah,
bayi Ramlah lahir yang kemudian diberi nama Habibah. Dari nama bayi inilah
kemudian nama Ramlah berubah menjadi Ummu Habibah.
Selama mereka di Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin
di Mekah semakin kuat dan jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk
kembali ke negeri asal mereka. Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih
untuk menetap di Habasyah. Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang
akan kembali ke Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan
orang-orang musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum
muslimin. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah.
Beberapa tahun tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat
mengharapkan kesedihan akan cepat berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi
kuat, namun kesedihan belum habis. Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah
memiliki keyakinan bahwa kaum muslimin tidak akan pernah kuat. Tampaknya dia
sudah putus asa sehingga sedikit demi sedikit hatinya mulai condong pada agama
Nasrani, agama orang Habasyah.
Ummu Habibah mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku
melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan
berkata, ‘Demi Allah, keadaannya telah berubah.’ Pagi harinya Ubaidillah
berkata, ‘Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik
daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah
aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani.’ Aku berkata,
‘Sungguhkah hal itu baik bagimu?’ Kemudian aku ceritakan kepadanya tentang mimpi
yang aku lihat, namun dia tidak mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus
meminum minuman keras sehingga merenggut nyawanya.”
Demikianlah, Ubaidillah keluar dan agama Islam yang telah dia
pertaruhkan dengan hijrah ke Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan
kampung halaman bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun
berusaha mengajak istrinya untuk keluar dari Islam, namun usahanya sia-sia
karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam Islam dan memertahankannya hingga suaminya
meninggal. Ummu Habibah merasa terasing di tengah kaum muslimin karena merasa
malu atas kernurtadan suaminya. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali
ke Mekah, padahal orang tuanya, Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan
kaurn muslimin. Dalam keadaan seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak
aman lagi baginya, sementara keluarga suarninya telah meeninggalkan rumah mereka
karena telah bergabung dengan Rasulullah. Akhirnya, dia kembali ke Habasyah
dengan tanggungan derita yang berkepanjangan dan menanti takdir dari Allah.
Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. selalu memantau keadaan
umat Islam, tidak saja yang berada di Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di
Habasyah. Ketika memantau Habasyahlah beliau mendengar kisah tentang Ummu
Habibah yang ditinggalkan Ubaidillah dengan derita yang ditanggungnya selama
ini. Hati beliau terketuk dan berniat menikahinya.
Ummu Habibah menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram.
Dia berkata, “Dalam tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku
dengan sebutan Ummul-Mukminin. Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa
Rasulullah akan menikahiku.” Dia melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah masa
iddahku habis. Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta
izin, dia adalah Abrahah, seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi
harum-haruman pada pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu,
‘Rasulullah mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.” Aku
menjawab, ‘Allah memberimu kabar gembira dengan membawa kebaikan.’ Dia berkata
lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak rnengawinkanmu’. Aku
menunjuk Khalid bin Said bin Ash sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah
dua gelang perak, gelang kaki yang ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di
jari kakiku atas kegembiraanku karena kabar yang dibawanya.” Ummu Habibah
kembali dan Habasyah bersarna Syarahbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah
dari Najasyi, Raja Habasyah.
Berita pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan
pukulan keras bagi Abu Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman
Allah, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan
orangorang yang kamu musuhi di antara mereka. …“ (QS. Al-Mumtahanah:
7). Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.
menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.
Rasululullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. mengutus Amru bin
Umayyah ke Habasyah dengan membawa dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin
untuk kembali ke negeri mereka (Madinah) karena posisi kaum muslimin sudah kuat
serta untuk meminang Ummu Habibah untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan kembali
ke Madinah mereka mendengar berita kernenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di
Khaibar. Kegembiraan itu pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka
telah kembali dan Habasyah. Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka
cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke
dalarn rumah, yang ketika itu bersarnaan juga dengan pernikahan beliau dengan
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khaibar
yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi mernbebaskan dan menikahinya.
Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu Habibah dengan hangat
dan rasa hormat, berbeda dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah.
Perjalanan hidup Ummu Habibah di tengah keluarga Rasulullah
tidak banyak menimbulkan konflik antar istri atau mengundang amarah beliau.
Selain itu, belum juga ada riwayat yang mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah
yang menunjukkan rasa cemburu.
Telah kita sebutkan di atas tentang posisi Ummu Habibah yang
istimewa di antara istri-istri Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum
musyrik ketika Ummu Habibah mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi
kesulitan ketika harus menjelaskan keyakinan itu kepada orang tuanya.
Orang-orang Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka
tanda-tangani di Hudaibiyah bersama Rasulullah. Mereka menyerang dan membantai
Bani Qazaah yang telah terikat perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin.
Untuk mengantisipasi hal itu, Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah yang di
dalamnya tinggal Abu Sufyan dan keluarga Ummu Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah
sudah mengira bahwa kaum muslimin akan menyerang mereka sebagai balasan atas
pembantaian atas Bani Qazaah yang mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui
kekuatan pasukan kaum muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah
Abu Sufyan yang dikenal dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi
untuk berdamai dengan Rasulullah.
Sesampainya di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui
Rasulullah, tetapi terlebih dahulu rnenemui Ummu Habibah dan berusaha
rnemperalat putrinya itu untuk kepentingannya. Betapa terkejutnya Ummu Habibah
ketika melibat ayahnya berada di dekatnya setelah sekian tahun tidak berjumpa
karena dia hijrah ke Habasyah. Di sinilah tampak keteguhan iman dan cinta Ummu
Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan menyadari keheranan dan kebingungan
putrinya, sehingga dia tidak berbicara. Akhirnya Abu Sufyan masuk ke kamar dan
duduk di atas tikar. Melihat itu, Ummu Habibah segera melipat tikar (kasur)
sehingga tidak diduduki oleh Abu Sufyan. Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap
putrinya, kemudian berkata, “Apakah kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk
di atasnya atau rnenyingkirkannya dariku?” Ummu Habibah menjawab, “Tikar ini
adalah alas duduk Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis.
Aku tidak suka engkau duduk di atasnya.” Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan
merasakan pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa
usahanya untuk menggagalkan serangan kaurn muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu
Habibah telah menyadari apa yang akan terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya
pasukan muslim menyerbu Mekah yang di dalarnnya terdapat keluarganya, namun yang
dia ingat hanya Rasulullah. Dia mendoakan kaum muslimin agar rnemperoleh
kemenangan.
Allah mengizinkan kaum muslimin untuk mernbebaskan Mekah.
Rasulullah bersama ribuan tentara Islam memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa
dirinya sudah terkepung puluhan ribu tentara. Dia merasa bahwa telah tiba
saatnya kaum muslimin membalas sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas
mereka. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu Sufyan
menerrna ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya dengan kerendahan diri.
Abbas, paman Rasulullah, meminta beliau menghormati Abu Sufyan agar dirinya
merasa tersanjung atas kebesarannya. Abbas berkata, “Sesungguhnya Abu Sufyan
itu seorang yang sangat suka disanjung.” Di sini tampaklah kepandaian dan
kebijakan Rasulullah. Beliau menjawab, “Barang siapa yang memasuki rumah Abu
Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan
selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan selamat.”
Begitulah Rasulullah menghormati kebesaran seseorang, dan Allah telah memberi
jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan Ummu Habibah dengan
keislaman ayahnya.
Setelah Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu
Habibah hidup menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kejadian fitnah besar atas kematian
Utsman bin Affan, dia tidak berpihak kepada siapa pun. Bahkan ketika saudaranya,
Mu’awiyah bin Abu Sufyan, berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha mengambil
kesempatan untuk menduduki posisi tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir Ali
bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu.
Dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh
para sahabat. Di antara hadits yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar
Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari
semalam, niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah
berkata, “Sungguh aku tidakpernah meninggalkannya setelab aku mendengar dari
Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.” (HR. Muslim)
Ummu Habibah wafat pada tahun ke-44 hijrah dalarn usia tujuh
puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi’ bersama istri-istri Rasulullah yang
lain. Semoga Allah memberinya kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di
tempat yang layak penuh berkah. Amin.
Sumber : - Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh. |