Tampilkan postingan dengan label Ringkasan Shahih Bukhari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ringkasan Shahih Bukhari. Tampilkan semua postingan

Kitab Haid




Firman Allah ta'ala, "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, 'Haid itu adalah kotoran.' Oleh karena itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (al-Baqarah: 222)

Bab Ke- 1: Bagaimana Permulaan Haid Itu dan Sabda Nabi Muhammad saw., "Ini merupakan suatu hal yang telah Allah tetapkan bagi anak cucu perempuan Adam."[1]

Sebagian ulama mengatakan bahwa haid pertama kali datang pada bani Israel.[2]
Abu Abdillah (Imam Bukhari) berkata, "Akan tetapi, apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. lebih tepat."


Bab Ke-2: Perintah Kepada Kaum Wanita Apabila Sedang Haid
 
(Aku berkata, "Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah yang tertera pada nomor 178.")

Bab Ke-3: Mencuci Kepala Suami dan Menyisir Rambutnya oleh Seorang Istri yang Haid

167. Urwah pernah ditanya orang, "Bolehkah wanita haid melayaniku dan bolehkah wanita junub mendekatiku?" Urwah berkata, "Semuanya boleh bagiku, semuanya boleh melayaniku, dan tiada celanya. Aisyah telah menceriterakan kepadaku bahwa dia pernah menyisir rambut Rasulullah saw ketika dia sedang haid, padahal ketika itu Rasulullah saw sedang i'tikaf di masjid; beliau mendekatkan kepalanya kepadanya (Aisyah) dan dia (Aisyah) ada di dalam kamarnya, lalu ia menyisir beliau, padahal ia sedang haid."

Bab Ke-4: Lelaki Membaca Al-Qur'an di Pangkuan Istrinya, Sedang Istrinya Itu dalam Keadaan Haid
 
Abu Wa'il mengutus pelayannya yang sedang haid supaya membawa (mengambil) Al-Qur'an dari Abu Razin dengan memegangnya pada gantungannya.[3]
168. Aisyah r.a. berkata, "Nabi Muhammad saw. bersandar di pangkuan aku, padahal aku sedang haid, kemudian beliau membaca Al-Qur'an."

Bab Ke-5: Orang yang Menamakan Nifas Itu Haid
 
169. Ummu Salamah berkata, "Ketika aku bersama Nabi Muhammad saw. tidur-tiduran di kain hitam persegi empat (dalam satu riwayat: di lantai 1/83), tiba-tiba aku haid, lalu aku keluar dan mengambil pakaian haidku, lalu beliau bertanya, '[Mengapa kamu?, 2/233] Apakah kamu nifas?' Aku menjawab, 'Ya.' Beliau lalu memanggilku, lalu aku tidur bersama beliau di lantai yang rendah." [Ummu Salamah biasa mandi bersama Rasulullah saw dari satu bejana dan beliau suka menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa.]


Bab Ke-6: Memeluk Wanita yang Sedang Haid
 
170. Aisyah berkata, "Salah seorang di antara kami apabila haid dan Nabi Muhammad saw ingin memeluknya, beliau menyuruhnya untuk berkain pada saat haidnya, kemudian beliau memeluknya" Aisyah berkata, "Siapakah diantaramu yang dapat mengendalikan syahwat nya sebagaimana Nabi Muhammad saw mengendalikan syahwat beliau?"

171. Maimunah berkata, "Apabila Rasulullah saw ingin menggauli (memeluk) seseorang di antara istri-istrinya yang sedang haid, beliau menyuruhnya supaya memakai izar (kain)."


Bab Ke-7: Orang yang Haid Harus Meninggalkan Puasa

(Aku berkata, "Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abu Sa'id al-Khudri yang tersebut pada Kitab ke-24 'az-Zakat', Bab ke-44.")

Bab Ke-8: Wanita Haid Boleh Melaksanakan Semua Manasik Haji Kecuali Thawaf di Masjidil Haram
 
Ibrahim mengatakan, 'Tidak apa-apa wanita yang haid membaca ayat Al-Qur an."[4]
Ibnu Abbas berpendapat bahwa tidak apa-apa seorang junub menbaca Al-Qur'an.[5]
Nabi Muhammad saw selalu mengingat (menyebut) Allah di segala waktu.[6]
Ummu Athiyyah mengatakan, "Kami (para wanita) diperintahkan agar orang-orang yang dalam keadaan haid dari golongan kami mengucapkan takbir hari raya sebagaimana takbirnya kaum lelaki dan berdoa."[7]
Ibnu Abbas berkata, "Aku diberitahu oleh Abu Sufyan bahwasanya Heraklius meminta surat Nabi Muhammad saw., lalu ia membacanya, tiba-tiba di dalamnya terdapat tulisan Bismillaahir-rahmaanir-rahiim 'dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang' dan ayat yaa ahlal kitaabi ta'aalaw ilaa kalimatin.... 'hai orang-orang ahli kitab! Marilah sama-sama kita berpegang pada kata yang sama antara kami dan kamu yakni bahwa tak ada yang kita sembah selain Allah ....'."[8]
Atha' berkata mengenai apa yang diterimanya dari Jabir, yaitu, "Aisyah haid dan dia melaksanakan semua ibadah haji kecuali thawaf sekitar Ka'bah dan tidak shalat."[9]
Hakam berkata, "Sesungguhnya, aku menyembelih binatang sedangkan aku dalam keadaan junub dan Allah telah berfirman, 'Dan, janganlah kamu memakan makanan yang tidak disebut nama Allah (sewaktu menyembelihnya).'"[10]
(Aku berkata, "Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah yang disebutkan pada nomor 178.")

Bab Ke-9: Istihadhah (Keluar Darah dari Rahim, Tetapi Bukan Darah Haid)

(Aku berkata, "Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Fatimah binti Abi Hubaisy di muka pada nomor 127.")

Bab Ke-10: Mencuci Darah Haid
 
172. Asma' binti Abu Bakar berkata, "Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah saw., Wahai Rasulullah, bagaimanakah caranya apabila pakaian salah seorang dari kami terkena darah haid, apakah yang harus ia perbuat?' Rasulullah saw. bersabda, 'Apabila pakaian salah seorang dari kamu terkena darah haid, gosoklah darah itu kemudian bersihkanlah dengan air. Setelah itu, kamu boleh shalat dengan memakai pakaianmu itu.'" (Dalam satu riwayat: gosoklah, kemudian hendaklah ia siram dengan air dan bolehlah ia shalat dengannya.)

173. Aisyah berkata, "Apabila salah seorang di antara kami datang haidnya, ia mengerik darah yang mengenai pakaiannya, mencuci bagian itu, dan menyiram sisanya dengan air,[11] kemudian dia melakukan shalat dengannya."


Bab Ke-11: I'tikaf Seorang Wanita yang Sedang Istihadhah
 
174. Aisyah berkata bahwa Nabi Muhammad saw melakukan i'tikaf dan beri'tikaf pulalah sebagian istri-istrinya bersama beliau, sedangkan di antara istri-istrinya ada yang beristihadhah. Dia (istri Nabi) melihat darah (keluar dari kemaluannya) [dan warna kekuning-kuningan], dan mungkin dia (istri Nabi) meletakkan sebuah pinggan di bawahnya untuk (menampung) darah [ketika ia shalat]. Ikrimah mengira bahwasanya Aisyah melihat cairan jenis suatu tumbuhan, lalu ia berkata, 'Tampaknya ini sesuatu yang dimiliki oleh si anu."


Bab Ke-12: Bolehkah Seorang Wanita Melakukan Shalat dengan Pakaian yang Dipakainya Ketika Haid?

175. Aisyah berkata, 'Tak seorang pun di antara kami yang mempunyai lebih dari satu pakaian yang juga kami pakai ketika kami sedang haid. Karena itu, apabila ia terkena sesuatu dari darah haidnya, ia menghilangkan kotoran itu dengan ludahnya kemudian menggosok-gosoknya dengan kukunya."


Bab Ke-13: Menggunakan Wangi-Wangian Bagi Perempuan Ketika Mandi dari Haid
 
176. Ummu Athiyyah r.a. (dan dari jalan Muhammad bin Sirin, berkata, "Anak laki-laki Ummu Athiyyah r.a. meninggal dunia. Pada hari yang ketiga, dia meminta zat pewarna kuning untuk mengusap wajahnya, dan, 2/78) ia berkata, 'Kami dilarang[12] (dalam satu riwayat: Nabi Muhammad saw. melarang, 6/187) berkabung (dalam satu riwayat: tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung) pada mayit lebih dari tiga hari kecuali atas suami, yaitu selama 4 bulan 10 hari dengan tidak bercelak, tidak berharum-haruman (dalam satu riwayat: tidak mengenakan harum-haruman kecuali baru suci dari haid), dan tidak boleh mengenakan pakaian yang dicelup kecuali kain dingin (buatan Yaman). Kami pun telah diberi kemurahan ketika suci, apabila salah seorang di antara kami mandi dari haidnya dengan setetes minyak harum. Kami pun dilarang mengiringkan jenazah [tetapi larangan ini tidak keras].'"
[Abu Abdullah berkata, "lafal al-qusth dan al-kust itu semacam lafal kaafuur dan qaafuuy, sedang nubdzah berarti qith'ah 'sepotong'." 6/186]

Bab Ke-14: Seorang Wanita Menggosok Tubuhnya Ketika Mandi Setelah Suci dari Haid, Bagaimana Cara Dia Mandi, dan MenWmakan Sepotong Kain yang Diberi Wewangian untuk Mengusap BekasBekas Darah

177. Aisyah r.a. berkata, "Seorang wanita [dari Anshar] bertanya kepada Nabi Muhammad saw tentang cara dia mandi dari haid. Beliau lalu memerintahkan kepadanya bagaimana ia mandi. Beliau bersabda, 'Ambillah sepotong kain yang diberi kasturi lalu bersucilah kamu dengannya [(tiga kali).' Nabi Muhammad saw merasa malu, lalu beliau memalingkan wajahnya, atau beliau bersabda: berwudhulah].' Ia (wanita itu) bertanya, 'Bagaimana aku bersuci dengannya?' Beliau bersabda, 'Mahasuci Allah, bersucilah!'" [Aisyah berkata, "Aku mengerti apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw., 8/159], maka aku menariknya ke arahku, lalu aku katakan, 'Telusurilah dengan minyak harum pada bekas darah.'"

Bab Ke-15: Mandi Sehabis Haid
 
(Aku berkata, "Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah di muka.")

Bab Ke-16: Perempuan Menyisir Rambutrrya Sewaktu Mandi Sehabis Haid
 
(Aku berkata, "Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah yang akan datang di bawah ini.")

Bab Ke-17: Perempuan Melepaskan Sanggul Kepala Ketika Mandi Haid

178. Aisyah berkata, "Kami keluar memenuhi tanggal bulan Dzulhijjah; (dalam satu riwayat: pada tanggal lima Dzulhijjah, 4/7), [dan kami tidak melihat melainkan itu adalah bulan haji, 2/151], [lalu kami berihram untuk umrah, kemudian Rasulullah saw bersabda kepada kami, 'Barangsiapa yang membawa binatang korban, hendaklah ia berihram untuk haji dan umrah, kemudian janganlah ia bertahallul sehingga selesai keduanya.' 5/124]. [Kami lalu turun di Sarif." Kata Aisyah, "Kemudian Rasulullah saw keluar menemui sahabat-sahabat beliau, 2/150], lalu bersabda, 'Barangsiapa [di antara kamu yang tidak membawa binatang korban, dan] ingin berihram dengan umrah, hendaklah ia membaca talbiyah/berihram. (Dalam satu riwayat: ingin berumrah, silakan dia berumrah, dan barangsiapa yang membawa binatang korban, janganlah berihram untuk umrah) karena seandainya aku tidak menyerahkan hewan untuk disembelih niscaya aku membaca talbiyah untuk umrah.' Sebagian dari mereka lalu membaca talbiyah untuk umrah dan sebagian dari mereka membaca talbiyah untuk haji [dan di antara kami ada yang membaca talbiyah untuk haji dan umrah]." [Aisyah berkata, "Adapun Rasulullah saw dan beberapa orang sahabat beliau fisiknya kuat-kuat, mereka membawa binatang korban, maka mereka tidak dapat melakukan umrah], dan aku termasuk orang yang membaca talbiyah untuk umrah [dan tidak membawa binatang korban], [kemudian aku haid]. Aku mendapati hari Arafah, sedangkan aku haid. Aku lalu mengadu kepada Nabi Muhammad saw (dan dalam satu riwayat: lalu Rasulullah saw masuk menemuiku, sedangkan aku sedang menangis, lalu beliau bertanya, 'Mengapa engkau menangis, wahai sayang?' Aku menjawab, '[Demi Allah, aku ingin tidak haji tahun sekarang, l/79], aku mendengar apa yang engkau katakan kepada sahabat-sahabatmu seperti itu, tetapi aku terhalang melakukan umrah.' Beliau berkata, 'Mengapa engkau [apakah engkau nifas/haid? 6/235].' Aku menjawab, '[Ya], aku tidak shalat' Beliau bersabda, 'Tidak apa-apa. Sesungguhnya, engkau hanya salah seorang putri-putri Adam. Allah telah menetapkan atasmu seperti apa yang ditetapkannya atas putri-putri Adam itu.) (Dalam satu riwayat: 'Sesungguhnya, ini adalah suatu urusan (dalam satu riwayat: sesuatu) yang telah ditetapkan Allah atas anak-anak perempuan Adam, 1/77). Karena itu, tinggalkanlah umrahmu, uraikan rambutmu dan bersisirlah, dan bertalbiyahlah untuk haji (dalam satu riwayat: maka beradalah kamu dalam haji kamu, mudah-mudahan Allah akan memberimu haji).' [Beliau bersabda, '[Maka] lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang sedang melakukan haji, hanya saja janganlah engkau melakukan thawaf di Baitullah[13] sehingga engkau suci.' 2/171] Kemudian, aku kerjakan. [Kemudian Nabi Muhammad saw datang, lalu thawaf di Baitullah dan sa'i antara Shafa dan Marwah, dan tidak bertahallul, dan beliau membawa binatang korban, lalu berthawaf pula istri-istri beliau dan sahabat-sahabat beliau bersama beliau, 2/196]. [Nabi Muhammad saw. lalu memerintahkan orang yang tidak membawa binatang korban supaya bertahallul. Bertahallullah di antara mereka orang yang tidak membawa binatang korban; sedangkan istri-istri beliau tidak membawa binatang korban, maka mereka bertahallul." [Aisyah berkata bahwa Rasulullah saw. bersabaa, "Seandainya aku tahu akan menghadapi apa yang kutinggalkan ini niscaya aku membawa binatang korban dan aku bertahallul bersama orang banyak ketika mereka bertahallul." 8/128] [Aisyah berkata, "Aku lalu tidak melakukan thawaf di Baitullah."] [Aisyah berkata, "Kami lalu keluar di dalam haji beliau, sehingga kami datang di Mina, lalu aku suci/selesai haid."] [Aisyah berkata, "Kami lalu memasuki hari nahar dengan daging sapi. Aku bertanya, 'Apa ini?' Mereka menjawab, 'Rasulullah saw menyembelih korban untuk istri-istrinya [dengan sapi].'-Yahya berkata, 'Aku lalu menyebutkan hadits ini kepada al-Qasim bin Muhammad, kemudian dia berkata, 'Demi Allah, Aisyah telah menyampaikan hadits menurut apa adanya." 4/7].-[Aku lalu keluar dari Mina, lalu aku thawaf ifadhah di Baitullah [pada hari nahar. 2/ 189]. Aku lalu keluar bersama beliau pada nafar akhir], sehingga ketika malam hashbah [beliau turun di tempat melempar jumrah di Mina dan kami pun turun bersama beliau.] [Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, orang-orang pulang dengan membawa pahala umrah dan haji, sedangkan aku hanya kembali dengan haji?' (dalam satu riwayat: 'Sahabat-sahabatmu pulang dengan mendapat pahala haji dan umrah, sedang aku tidak lebih dari pahala haji saja?' 4/14) Beliau bersabda, 'Engkau tidak thawaf selama beberapa malam kita tiba di Mekah?' Aku menjawab, Tidak.' Beliau bersabda, 'Pergilah dengan saudara laki-laki [dan hendaklah ia mengiringimu] ke Tan'im, lalu bertalbiyahlah untuk umrah, kemudian waktumu untuk ini dan ini], [tetapi hal itu menurut kadar biayamu dan keletihanmu, 2/201].'
[Shafiyah binti Huyay mengeluarkan haid, 2/196] [pada malam nafar, lalu, 2/198] [ia berkata, 'Aku lihat dirimu menghalangi mereka (dalam satu riwayat: meng halangimu)].' [Rasulullah saw. menginginkan terhadap Shafiyah apa yang biasa diinginkan seorang laki-laki kepada istrinya, lalu aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia sedang haid.'] (Dalam satu riwayat: Ketika Rasulullah saw hendak melakukan nafar, tiba-tiba Shafiyah berada di depan pintu kemahnya dengan muram, 6/184) [bersedih hati karena sedang haid, lalu, 7/110] beliau bersabda [kepadanya], [''Aqra haliqa'] -[dialek Quraisy]- [dia menghalangi kita?] [Apakah engkau tidak melakukan thawaf pada hari nahar? Dia menjawab, 'Tidak.' Beliau bersabda, 'T'idak apa-apa. Lakukanlah nafar] [kalau begitu].' [Rasulullah saw. lalu memanggil Abdur Rahman bin Abu Bakar seraya bersabda, 'Keluarlah bersama saudara perempuanmu ini dari tanah haram, lalu hendaklah ia bertalbiyah untuk umrah, kemudian selesaikanlah. Setelah itu, datanglah kalian berdua ke sini karena aku menunggu kedatanganmu berdua.' Aku keluar ke Tan'im, [dan Abdur Rahman mengiringkan di bagian belakang tali unta, 6/141], [dan menaikkanku di atas pelana, 2/141-142].[14] Aku lalu bertalbiyah untuk umrah sebagai pengganti umrah aku [yang telah kulakukan] [sehingga setelah aku selesai, dan selesai thawaf, kemudian aku datang kepada beliau pada waktu dini hari).' [Nabi Muhammad saw lalu menemuiku [sedangkan hari masih gelap], beliau naik dari Mekah dan aku turun ke sana, atau aku naik dan beliau turun]. (Dalam satu riwayat: Nabi Muhammad saw menantikan Aisyah di Mekah bagian atas hingga Aisyah datang). [Nabi Muhammad saw lalu bertanya, 'Apakah engkau sudah selesai?' Aku menjawab, 'Sudah.'] [Beliau bersabda, 'Ini adalah pengganti umrahmu]. [Allah lalu menjadikannya dapat menyelesaikan hajinya dan umrahnya, dan dalam hal itu tidak ada binatang korban, tidak ada sedekah, dan tidak ada puasa].'

[Berthawaflah orang-orang yang bertalbiyah umrah di Baitullah, dan sa'i antara Shafa dan Marwah, kemudian tahallul, kemudian mereka thawaf dengan satu kali thawaf (dalan satu riwayat: thawaf yang lain, 2/168) sesudah kembali dari Mina. Adapun orang-orang yang melakukan haji dan umrah bersama-sama, mereka melakukan thawaf satu kali. 2/149].[15] [Rasulullah saw lalu mengumumkan kepada para sahabatnya untuk berangkat, kemudian orang-orang berangkat [dan orang-orang yang thawaf sebelum shalat subuh, kemudian keluar], lalu berjalan menuju ke Madinah.]"


Bab Ke-18: Manusia yang Jadi Diciptakan dan yang Tidak Jadi Diciptakan
 
(Aku berkata, "Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Anas yang tercantum pada Kitab ke-82 'al-Qadar'.')

Bab Ke-19: Bagaimana Memulai Ihramnya Perempuan Haid dengan Haji dan Umrah
 
(Aku berkata, "Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah tersebut tadi.")

Bab Ke-20: Permulaan dan Akhir Masa Haid

Ada beberapa orang wanita yang sama memberikan sehelai kain kepada Aisyah, yang di dalamnya ada kapasnya dan tampaklah di kapas itu warna kuning. Aisyah berkata, "Janganlah terburu-buru, sampai kamu melihat sehelai kain itu putih (maksudnya: berhentinya haid secara sempurna)."[16]
Putri Zaid binTsabit[17] diberi tahu bahwa beberapa wanita meminta lampu-lampu di malam hari untuk melihat apakah haid telah berhenti ataukah belum. Mengenai
hal itu putri Zaid mengatakan, "Kaum perempuan tidak perlu melakukan hal itu." Dia pun mencela mereka.[18]
(Aku berkata, "Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya bagian dari hadits Bintu Abi Hubaisy yang tersebut pada nomor 127 di muka.')

Bab Ke-21: Orang Haid Tidak Mengqadha Shalat
 
Jabir dan Abu Sa'id berkata dari Nabi Muhammad saw., "Ia (wanita yang sedang haid, pen) harus meninggalkan shalat."[19]

179. Dari Mu'adzah bahwasanya seorang wanita berkata kepada Aisyah, "Apakah salah seorang di antara kita shalatnya mencukupi apabila ia suci?" Aisyah menjawab, "Apakah kamu seorang Haruri? Kami haid bersama Nabi, namun beliau tidak memerintahkan kami karenanya." Atau, ia berkata, "Karni tidak mengerjakannya."


Bab Ke-22: Tidur dengan Seorang Wanita Haid dan Wanita Itu Memakai Bajunya (Yang Dipakai Ketika Haid)

(Aku berkata, "Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ummu Salamah yang tersebut pada nomor 169 di muka.")


Bab Ke-23: Orang yang Mengenakan Pakaian Khusus untuk Haid Selain yang untuk Waktu Sucinya
 
(Aku berkata, "Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ummu Salamah di atas.")

Bab Ke-24: Hadirnya Orang Haid dalam Shalat Dua Hari Raya dan Dakwah Kaum Muslimin, Tetapi Mereka Menjauhkan Diri dari Tempat Shalat
Hafsah [binti Sirin, 2/9] berkata, "Kamu semua melarang gadis-gadis kami untuk keluar pada kedua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adlha). Datanglah seorang perempuan lalu singgah di gedung keluarga Khalaf, [lalu aku datang kepadanya], kemudian ia bercerita tentang saudara perempuannya-dan suami dari saudara perempuannya telah mengikuti peperangan bersama-sama dengan Nabi Muhammad saw sebanyak dua belas kali-. Perempuan tersebut selanjutnya mengatakan, 'Saudara perempuanku itu pernah mengikuti suaminya (dalam peperangan) sebanyak enam kali. Ia mengatakan, 'Kami mengobati yang terluka, mengurus yang sakit.' Saudara perempuanku bertanya kepada Nabi Muhammad saw, 'Apakah tidak apa-apa bagi salah seorang di antara kami untuk tinggal di rumah kalau dia tidak mempunyai jilbab? Beliau menjawab, 'Hendaknya sahabatnya mengenakan salah satu jilbabnya kepadanya dan hendaknya dia berpartisipasi di dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan dalam pertemuan-pertemuan keagamaan kaum muslimin.' Pada waktu Ummu Athiyyah datang, aku datang kepadanya lalu] aku bertanya kepadanya, 'Apakah Anda pernah mendengar Nabi Muhammad saw mengenai masalah ini (yakni bolehnya kaum wanita keluar untuk menghadiri kebaikan yang diadakan oleh kaum muslimin)?' Ummu Athiyyah berkata, 'Ya, semoga ayahku berkorban untuknya (Nabi Muhammad saw.)-Ummu Athiyyah tidak menyebutkan sesuatu melainkan hanya berkata, 'Semoga ayahku berkorban untuknya'-. Aku pernah mendengar Nabi Muhammad saw bersabda, '[Hendaklah] wanita-wanita merdeka (anak-anak gadis) dan wanita-wanita pingitan atau anak-anak gadis pingitan [Abu Ayyub ragu-ragu] dan wanita-wanita haid keluar [pada hari raya] untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah orang-orang mukmin, dan orang yang haid supaya mengucilkan diri dari mushalla.' [Seorang perempuan bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana kalau salah seorang dari kami tidak mempunyai jilbab?' Beliau menjawab, 'Hendaklah sahabatnya berpartisipasi dengan mengenakan jilbabnya kepadanya.' 1/93].'" Hafshah berkata, "Aku bertanya, 'Bagaimana dengan wanita-wanita yang sedang haid?' Jawabnya, 'Bukankah wanita yang sedang haid juga hadir di Arafah, [menghadiri] ini dan [menghadiri] ini?'" (Dalam satu riwayat dari Hafshah, "Kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya, hingga kami suruh keluar juga anak-anak gadis dari pingitannya, hingga kami keluarkan wanita-wanita yang sedang haid, lalu mereka berada di belakang orang banyak, lantas bertakbir dengan takbir mereka dan berdoa sebagaimana mereka berdoa karena mengharapkan keberkahan dan kesucian hari itu." 2/7)


Bab Ke-25: Perempuan Apabila Berhaid Tiga Kali dalam Sebulan dan Perihal Dibenarkannya Perempuan Mengenai Haid atau Mengandungnya, Mengingat Firman Allah Ta'ala, "... Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya...." (al-Baqarah: 228)

Ali dan Syuraih berkata, "Apabila seorang wanita memberikan bukti dari keluarganya yang terdiri atas orang-orang muslim yang baik dan mengatakan bahwa dia haid tiga kali dalam sebulan, dia dipercaya."[20]
Atha' berkata, "Haid itu sehari sampai lima belas hari."[21]
Mu'tamir mengatakan tentang apa yang diterima dari ayahnya, "Aku pernah bertanya kepada Ibnu Sirin perihal seorang perempuan yang melihat adanya darah lagi sesudah sucinya selama lima hari, apakah itu haid?" Ibnu Sirin menjawab, "Kaum perempuan adalah lebih mengerti perihal yang Anda tanyakan itu."[22]

(Aku berkata, "Dalam bab ini, Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Fatimah binti Abi Hubaisy yang tercantum di muka pada nomor 12.")


Bab Ke-26: Warna Kuning dan Keruh Pada Hari-Hari Selain Hari-Hari Waktu Kedatangan Haid
 
181. Ummu Athiyyah berkata, "Kami tidak menganggap kekuning-kuningan dan keruh (sebagai darah haid) sedikit pun."

Bab Ke-27: Pembuluh Darah yang Merupakan Sumber Darah yang Keluar Waktu Istihadhah
 
182. Aisyah istri Nabi Muhammad saw berkata bahwa Ummu Habibah istihadhah selama tujuh tahun, lalu ia bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai apa yang dialaminya itu, kemudian beliau menyuruh mandi, lalu beliau bersabda, "Istihadhah ini dari pembuluh darah." Karena itu, Ummu Habibah mandi untuk setiap hendak mengerjakan shalat.


Bab Ke-28: Perempuan yang Haid Sesudah Melakukan Thawaf Ifadhah
 
183. Thawus berkata dari ayahnya, "Ibnu Abbas berkata, 'Seorang wanita mendapatkan rukhshah (dispensasi/keringanan) untuk pergi (pulang ke rumah) apabila dia haid (dalam satu riwayat: setelah thawaf ifadhah).' Ibnu Umar berkata bahwa dia tidak boleh pergi, tetapi kemudian terakhir aku mendengar dia berkata [sesudah itu], 'Sesungguhnya, Rasulullah saw memberikan rukhshah (dispensasi) untuk kaum perempuan yang haid tersebut.'"

Bab Ke-29: Apabila Seorang Wanita yang Mengalami Istihadhah Melihat Tanda-Tanda Kesucian dari Haidnya
Ibnu Abbas berkata, "Dia hendaknya mandi dan shalat meskipun (dia suci) cuma satu jam dan dia dapat melakukan (hubungan seksual bersama suaminya) setelah shalat, dan shalat adalah lebih besar dan lebih penting (daripada apa pun juga)."[23]

Bab Ke-30: Melaksanakan Shalat Mayit Bagi Seorang Wanita yang Wafat Sewaktu (atau Sesudah) Melahirkan dan Cara (Melaksanakan Shalat) dan Sunnahnya
 
184. Samurah bin Jundub r.a. berkata, "Seorang wanita (dalam satu riwayat: aku shalat di belakang Nabi Muhammad saw atas jenazah seorang wanita, 2/91) yang meninggal karena melahirkan (dalam satu riwayat: pada waktu nifas), maka Nabi saw menshalatinya dengan posisi lurus di pertengahan (tubuh)nya."

Catatan Kaki:

[1] Ini adalah bagian dari hadits Aisyah yang tercantum pada Bab ke-17, hadits nomor 178.
 
[2] Al-Hafizh berkata, "Seakan-akan dia mengisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dari Ibnu Mas'ud dengan isnad yang sahih, katanya, 'Para laki-laki dan para perempuan dari bani Israel biasa melakukan shalat bersama-sama. Akan tetapi, kaum perempuan suka menghambat laki-laki, lalu Allah menimpakan haid kepada mereka dan melarang mereka ke masjid.' Abdur Razzaq juga meriwayatkan riwayat yang semakna dengan ini dari Aisyah."
 
[3] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih darinya.
 
[4] Di-maushul-kan oleh ad-Darimi (1/235) dengan sanad hasan darinya. Dia itu adalah Ibrahim bin Yazid an-Nakha'i, seorang faqih (ahli fikih).
 
[5] Di-maushul-kan oleh Ibnul Mundzir dengan lafal, "Sesungguhnya, Ibnu Abbas biasa membaca wiridnya meskipun dia dalam keadaan junub."
 
[6] Di-maushul-kan oleh Muslim (1/194) dan lainnya dari hadits Aisyah, dan di-takhrij dalam Shahih Sunan Abi Dawud (14) dan dalam ash-Sahihah (406). Diriwayatkan juga bahwa Aisyah pernah meruqyah (menjampi) saudara perempuannya, yaitu Asma', padahal Aisyah sedang haid. Diriwayatkan oleh ad-Darimi (1/235) dan sanadnya hasan.
 
[7] Ini adalah bagian dari hadits Ummu Athiyah yang maushul yang akan disebutkan beberapa bab mendatang, yaitu pada Bab ke-24.
 
[8] Ini adalah bagian dari hadits tentang kisah Heraklius bersama Abu Sufyan dan di-maushul-kan oleh Imam Bukhari dalam beberapa tempat, dan disebutkan pada Kitab ke-56 "al-Jihad", Bab ke-102.
 
[9] Ini adalah bagian dari hadits Jabir dalam kisah Aisyah yang disebutkan secara maushul pada Kitab ke-94 "at-Tamanni", Bab ke-3.
 
[10] Di-maushul-kan oleh al-Baghawi di dalam al-Ja'diyyat dengan sanad sahih darinya. Dia adalah al-Hakam bin Uyainah al-Kufi, seorang faqih.
 
[11] Artinya, hendaklah ia mencuci bagian pakaian yang tidak terkena darah. Disebutkan di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah (276), "Kemudian, hendaklah ia menggosoknya dengan air, lalu menyiramkan air ke pakaiannya, kemudian shalat dengannya." Sanadnya hasan.

[12] Riwayat ini disebutkan oleh Imam Bukhari secara mu'allaq di sini dan di-maushul-kannya dalam "Ath-Thalaq" (6/187), dan di-maushul-kan juga oleh al-Baihaqi. Akan tetapi semua ini terluput atas al-Hafizh di dalam syarahnya terhadap kalimat terakhir di dalam "Al-Janaiz", bahkan terjadi kesalahpahaman yang harus dijelaskan di sini. Beliau mengatakan, "Diriwayatkan oleh al-Ismaili dengan lafal, 'Lalu Rasulullah saw. melarang kami...' Seandainya beliau ingat apa yang aku sebutkan ini niscaya beliau tidak perlu menisbatkan riwayat ini kepada al-Ismaili.
 
[13] Jabir menambahkan di dalam haditsnya, "Dan, janganlah engkau mengerjakan shalat," dan akan disebutkan haditsnya pada akhir kitab ke-94 "at-Tamanni", Bab ke-3, dan sudah disebutkan barusan secara mu'allaq pada nomor 61.
 
[14] Tambahan ini diriwayatkan secara mu'allaq oleh Imam Bukhari dan di-maushul-kan oleh Abu Nu'aim dalam al Mustkhraj.
 
[15] yakni selain thawaf (sa'i) antara Shafa dan Marwah sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam hadits Jabir yang diriwayatkan Muslim. Ini adalah bagi yang melakukan haji qiran sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam hadits tersebut, demikian juga yang melakukan haji ifrad sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik dalam hadits ini. Adapun orang yang melakukan haji tamattu', ia melakukan thawaf antara Shafa dan Marwah lagi sebagaimana lahir hadits ini, dan yang diriwayatkan dengan jelas dalam hadits Ibnu Abbas yang akan disebutkan secara mu'allaq dalam kitab ini.
 
[16] Di-maushul-kan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa' (1/77-78) dengan sanad hasan darinya.
 
[17] Di-maushul-kan juga oleh Imam Malik, tetapi hal ini perlu mendapat perhatian, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh. Putri Zaid ini tidak diketahui namanya.
 
[18] Ibnu Bathhal dan lainnya berkata, "Karena hal itu menimbulkan kesulitan dan memberatkan, juga tercela."
 
[19] Hadits Jabir ini merupakan bagian dari haditsnya yang tersebut pada Kitab ke-94 "at-Tamanni", Bab ke-3 tentang haidnya Aisyah pada waktu haji. Di situ disebutkan "hanya saja ia tidak boleh melakukan thawaf dan tidak boleh melakukan shalat". Adapun hadits Abu Sa'id disebutkan secara maushul pada Kitab ke-24 "az-Zakat", Bab ke-44. Di situ disebutkan "Bukankah wanita itu apabila sedang haid dia tidak shalat dan tidak berpuasa?"
 
[20] Di-maushul-kan oleh ad-Darimi (1/212 -213) dengan sanad sahih dari keduanya dan pernyataan ini diucapkannya dalam sebuah kisah.
 
[21] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan sanad sahih darinya.
 
[22] Di-maushul-kan oleh ad-Darimi (1/210 dan 211) secara terpisah, sedangkan sanad yang menggunakan kata yaum adalah hasan dan sanad lainnya sahih.
 
[23] Di-maushul-kan oleh ad-Darimi (1/203) dengan sanad sahih dari Ibnu Abbas tanpa perkataan mencampuri (menyetubuhi). Akan tetapi, yang ada perkataan ini diriwayatkan oleh darinya (1/207) dengan sanad yang lemah. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah sebelumnya.

Kitab Kusuf (Gerhana)




Bab Ke-1: Shalat Sunnah pada Waktu Terjadi Gerhana Matahari

547. Abu Bakrah berkata, "Kami berada di sisi Rasulullah lalu terjadi gerhana matahari. Maka, Nabi berdiri dengan mengenakan selendang beliau (dalam satu riwayat: pakaian beliau sambil tergesa-gesa 7/34) hingga beliau masuk ke dalam masjid, (dan orang-orang pun bersegera ke sana 2/31), lalu kami masuk. Kemudian beliau shalat dua rakaat bersama kami hingga matahari menjadi jelas. Beliau menghadap kami, lalu bersabda, 'Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dan sesungguhnya keduanya (2/31) bukan gerhana karena meninggalnya seseorang. Akan tetapi, Allah ta'ala menakut-nakuti hamba-hamba-Nya dengannya. Oleh karena itu, apabila kamu melihatnya, maka shalatlah dan berdoalah sehingga terbuka apa (gerhana) yang terjadi padamu.'" (Hal itu karena putra Nabi saw. yang bernama Ibrahim meninggal dunia, kemudian terjadi gerhana. Lalu, orang-orang berkomentar bahwa gerhana itu terjadi karena kematian Ibrahim itu. Hal ini lantas disanggah Rasulullah dengan sabda beliau itu.)

548. Abu Mas'ud berkata, "Nabi bersabda, 'Sesungguhnya matahari dan bulan tidak gerhana karena meninggal (dan hidupnya 4/76) seseorang. Tetapi, keduanya adalah dua dari tanda-tanda dari kebesaran Allah. Apabila kamu melihatnya, maka berdirilah untuk mengerjakan shalat gerhana.'"

549. Ibnu Umar mengatakan bahwa ia memberi kabar dari Rasulullah, bahwa matahari dan bulan tidak gerhana karena meninggal dan hidupnya seseorang. Tetapi, keduanya adalah tanda-tanda kekuasan Allah. Apabila kamu melihatnya, maka shalat gerhanalah.

550. Al-Mughirah bin Syubah berkata, "Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah pada hari meninggalnya Ibrahim. Orang mengatakan, 'Matahari gerhana karena meninggalnya Ibrahim.' Lalu Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya matahari dan bulan (adalah dua dari tanda tanda kebesaran Allah 2/30). Keduanya tidak gerhana karena meninggal atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihatnya, maka shalatlah (gerhana) dan berdoalah kepada Allah sehingga ia menjadi cerah kembali.'"

Bab Ke-2: Memberikan Sedekah pada Waktu Terjadi Gerhana
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah yang akan disebutkan pada bab selanjutnya nanti.")

Bab Ke-3: Berseru dengan, "Ashshalaatu jaami'ah"[1] pada Waktu Shalat Gerhana

551. Abdullah bin Amr berkata, "Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah, maka diserukanlah, 'Ashshalaatu jaami'ah' 'shalatlah dengan berjamaah'.


Bab Ke-4: Khotbah Imam pada Waktu Shalat Gerhana

Aisyah dan Asma' berkata, "Nabi berkhotbah."[2]

552. Aisyah istri Nabi saw., berkata, "Terjadi gerhana matahari pada masa hidup Rasulullah. Beliau keluar ke masjid lalu menyuruh seseorang menyerukan, Ash-Shalaatu Jaami'ah, kemudian beliau maju (2/31). Lalu, orang-orang berbaris di belakang beliau. (Dan dalam riwayat lain dari Aisyah: seorang wanita Yahudi datang mengajukan pertanyaan kepadanya seraya berkata, 'Mudah-mudahan melindungimu dari azab kubur.' Kemudian Aisyah bertanya kepada Rasulullah, 'Apakah orang-orang disiksa di dalam kuburnya?' Rasulullah menjawab, 'Aku berlindung kepada Allah dari hal itu.' Kemudian pada suatu pagi Rasulullah naik kendaraan, lalu terjadi gerhana matahari. Kemudian beliau kembali pada waktu dhuha.[3] Maka, Rasulullah berjalan di antara dua punggung batu,[4] lalu beliau berdiri menunaikan shalat 2/26-27). Kemudian Rasulullah membaca bacaan (dalam satu riwayat: surah 2/62) yang panjang yang beliau baca dengan keras. Beliau bertakbir, lalu ruku dengan ruku yang panjang. Setelah itu mengangkat kepalanya seraya (4/76) mengucapkan, 'Sami'allaahu Liman Hamidah.' Lantas berdiri lagi yang lebih pendek daripada berdirinya yang pertama (2/24) dan tidak sujud. Beliau membaca ayat-ayat yang panjang tetapi lebih pendek daripada bacaannya yang pertama, (dan dalam satu riwayat: kemudian beliau membuka bacaannya dengan surah lain). Kemudian bertakbir dan ruku yang panjang, tetapi lebih pendek dari ruku yang pertama, lalu mengucapkan, 'Sami'allaahu Liman Hamidah, Rabbana wa Lakal Hamdu.' Lalu, sujud dengan sujud yang panjang (dua kali sujud 2/30). Kemudian pada rakat yang terakhir beliau melakukan seperti apa yang beliau lakukan dalam rakaat sebelumnya. Dengan begitu, beliau telah menyempurnakan empat kali ruku dalam dua rakaat. Juga telah empat kali sujud (dalam satu riwayat: dengan dua kali sujud pada rakaat yang pertama, sedang sujud yang pertama lebih panjang). Kemudian matahari telah jelas sebelum beliau pergi, lalu beliau salam. Kemudian beliau berdiri, lalu berkhotbah kepada orang banyak dan memuji Allah dengan pujian yang layak untuk-Nya. Kemudian bersabda, 'Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda (kebesaran) Allah yang Dia tampakkan kepada hamba-hambaNya. Keduanya tidak menjadi gerhana karena meninggalnya seseorang dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Apabila kamu melihatnya, maka lakukanlah shalat.' (Dalam satu riwayat: maka, berdoalah kepada Allah, agungkanlah Dia, dan shalatlah [hingga tersingkap matahari/bulan kepadamu 2/24-25] dan bersedekahlah. Sesungguhnya saya melihat di tempat berdiriku ini segala sesuatu yang dijanjikan kepadaku, hingga saya lihat diri saya ingin memetik setandan kurma dari surga ketika kamu melihat aku maju, dan kulihat neraka Jahannam sebagiannya meruntuhkan sebagian yang lain ketika kamu lihat aku mundur. Aku lihat di sana Amr bin Luhaiy [menyeret ususnya 5/1910, dan dialah yang (dan dalam satu riwayat: orang pertama yang) menelantarkan semua yang telantar 2/62]. Kemudian beliau bersabda, 'Wahai umat Muhammad! Demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih pencemburu daripada Allah, melebihi kecemburuan seorang laki-laki atau wanita yang berzina. Wahai umat Muhammad! Demi Allah, seandainya kamu mengetahui apa yang saya ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan banyak menangis.' Kemudian beliau memerintahkan mereka berlindung dari azab kubur."
Katsir bin Abbas[5] menceritakan bahwa Abdullah bin Abbas r.a. apabila terjadi gerhana matahari biasa menceritakan hadits seperti hadits Urwah dari Aisyah. (Az-Zuhri berkata 2/31), "Aku berkata kepada Urwah, 'Sesungguhnya saudara mu (Abdullah bin Zubair tidak berbuat begitu). Pada hari terjadinya gerhana matahari di Madinah, ia tidak lebih dari melakukan shalat dua rakaat seperti shalat subuh.' Urwah menjawab, "Betul, karena ia menyalahi Sunnah.'"


Bab Ke-5: Apakah Dikatakan, "Kasafat" atau "Khasafat asy-syamsu", Sedangkan Allah Berfirman, "Wa Khasafal Qamar"

(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah di muka tadi.")


Bab Ke-6: Sabda Nabi, "Allah Menakut-nakuti Hamba-Hambanya dengan Gerhana"
 
Demikian dikatakan oleh Abu Musa dari Nabi saw.[6]

Bab Ke-7: Memohon Perlindungan kepada Allah dari Siksa Kubur dalam Shalat Gerhana
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah yang tertera pada nomor 552 di muka.")

Bab Ke-8: Lamanya Sujud dalam Shalat Gerhana
 
553. Abdullah bin Amr berkata, "Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah, diserukanlah, 'Ashshalaatu jaami'ah.' Kemudian Nabi shalat dua rakaat, dengan melakukan dua kali ruku dalam satu rakaat; kemudian berdiri lagi untuk rakaat kedua. Lalu, melakukan dua kali ruku dalam satu raka'at. Kemudian beliau duduk, lalu matahari terang." Abdullah berkata, "Aisyah berkata, 'Aku sama sekali tidak pernah melakukan sujud yang lebih daripada itu.'"

Bab Ke-9: Shalat Gerhana dengan Berjamaah
 
Ibnu Abbas shalat berjamaah dengan mereka di pelataran Zamzam.[7] Ali bin Abdullah bin Abbas melakukannya dengan berjamaah.[8] Ibnu Umar juga shalat gerhana (dengan berjamaah).[9]
554. Abdullah bin Abbas berkata, "Terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah, lalu beliau shalat (bersama orang banyak 6/151). Beliau berdiri lama yaitu kira-kira cukup untuk membaca surah al-Baqarah. Lalu, ruku dengan ruku yang lama, kemudian mengangkat kepala. Lalu, berdiri lagi agak lama, tetapi tidak selama berdirinya yang pertama. Kemudian ruku lagi agak lama, tetapi rukunya tidak selama yang pertama, lalu sujud. Kemudian beliau berdiri (untuk mengerjakan rakaat yang kedua). Berdirinya lama tetapi tidak selama berdiri yang pertama. Lalu, ruku dengan ruku yang lama. Tetapi, tidak selama ruku yang pertama. Kemudian mengangkat kepala lalu berdiri agak lama, tetapi tidak selama berdirinya yang pertama. Lalu ruku agak lama, tetapi tidak selama ruku yang pertama. Kemudian mengangkat kepala, lalu beliau sujud. Lalu selesailah shalat beliau, sedangkan matahari sudah tampak jelas. Kemudian beliau bersabda, 'Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda-tanda kebesaran Allah. Tidak terjadi gerhana matahari atau bulan karena meninggalnya seseorang atau karena hidupnya seseorang. Apabila kamu melihatnya, maka ingatlah kepada Allah.' Para sahabat berkata, 'Wahai Rasulullah, kami melihat engkau memperoleh sesuatu di tempat engkau, kemudian kami melihat engkau menahan (napas)?'[10] Beliau bersabda, 'Sesungguhnya saya melihat (dan dalam satu riwayat: diperlihatkan 1/182) surga, dan saya memperoleh seuntai. Seandainya saya mengambilnya, niscaya kamu memakan daripadanya selama dunia masih ada. Dan, saya melihat neraka, maka saya tidak pernah melihat pemandangan yang lebih ngeri seperti hari ini. Saya lihat sebagian besar penghuninya adalah wanita.' Mereka bertanya, 'Karena apakah wahai Rasulullah?' Beliau bersabda, 'Karena kekafiran mereka.' Ditanyakan, 'Mereka kafir kepada Allah?' Beliau bersabda, 'Mereka kufur terhadap suami dan kufur terhadap kebaikan. Seandainya kamu berbuat kebaikan kepada salah seorang dari mereka selama setahun penuh, kemudian ia melihat sesuatu (yang tidak menyenangkan) sedikit saja darimu, ia mengatakan, 'Saya tidak pernah melihat kebaikan darimu sama sekali.'"


Bab Ke-10: Shalatnya Kaum Wanita Bersama Kaum Lelaki dalam Mengerjakan Shalat Gerhana
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Asma' di muka.")

Bab Ke- 11: Orang yang Suka Memerdekakan Hamba Sahaya Ketika Ada Gerhana Matahari
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya hadits Asma' di muka.")

Bab Ke-12: Shalat Gerhana di Dalam Masjid
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya hadits Aisyah yang tercantum pada nomor 552 di muka.")

Bab Ke-13: Matahari (dan Juga Bulan) Tidak Gerhana karena Kematian atau Kehidupan Seseorang
 
Diriwayatkan oleh Abu Bakrah, Mughirah, Abu Musa, Ibnu Abbas, dan Umar radhiyallahu 'anhum.[11]

Bab Ke-14: Berzikir pada Waktu Terjadi Gerhana
 
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.[12]

555. Abu Musa berkata, "Terjadi gerhana matahari, lalu Nabi berdiri dengan terkejut, takut kiamat terjadi. Kemudian beliau datang ke masjid, lalu melakukan shalat dengan berdiri lama, ruku dan sujud yang pernah saya lihat yang beliau lakukan. Beliau bersabda, 'Tanda-tanda yang dikirimkan oleh Allah ini bukan karena meninggalnya seseorang. Tetapi, Allah menakut-nakuti hamba-Nya dengannya. Apabila kamu melihat sedikit saja darinya, maka berlindunglah dengan berzikir (ingat) kepada Allah, berdoa dan memohon ampunan-Nya.'"


Bab Ke-15: Berdoa pada Waktu Terjadi Gerhana
 
Dikatakan oleh Abu Musa dan Aisyah dari Nabi saw.[13]
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan hadits Mughirah yang tersebut pada nomor 550 di muka.")

Bab Ke-16: Ucapan Imam dalam Khutbah Gerhana dengan Mengatakan, "Amma Ba'du"

(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan secara mu'allaq sebagian dari hadits Asma' yang maushul yang tersebut pada nomor 118.")


Bab Ke-17: Shalat pada Waktu Terjadi Gerhana Bulan
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abu Bakrah yang tersebut pada nomor 547 di muka.")


Bab Ke-18: Rakaat Pertama dalam Shalat Gerhana Itu Lebih Panjang
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits Aisyah yang tercantum pada nomor 552.")


Bab Ke-19: Mengeraskan Suara Ketika Membaca dalam Shalat Gerhana.
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah tadi.")

Catatan Kaki:

[1] Yakni laksanakanlah shalat dengan berjamaah.

[2] Hadits Aisyah di-maushul-kan pada bab sebelumnya, dan teks khotbahnya akan disebutkan di dalam hadits Aisyah di sini. Sedangkan, hadits Asma' telah disebutkan pada nomor 161 di muka.

[3] Yakni, dari mengantar jenazah. Dan yang menyebabkan beliau naik kendaraan itu ialah kematian putra beliau Ibrahim.

[4] Yakni, di rumah-rumah istri beliau saw., dan rumah-rumah itu menempel di masjid.

[5] Di-maushul-kan oleh Muslim di dalam Shahih-nya dari Katsir, dan Imam Bukhari me-maushul-kan hadits ini secara marfu darinya dari beberapa jalan lain dari Ibnu Abbas, dan akan disebutkan pada nomor 672.

[6] Di-maushul-kan oleh Imam Bukhari pada BAB-14.

[7] Di-maushul-kan oleh asy-Syafi'i dengan sanad sahih dari Ibnu Abbas.

[8] Al-Hafizh berkata, "Saya tidak menjumpainya yang maushul."

[9] AI-Hafizh berkata, "Boleh jadi ini merupakan kelanjutan dari riwayat Ali tersebut. Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan yang semakna dengannya dari lbnu Umar."

[10] Dalam riwayat Muslim, "Kami melihat engkau menahan napas."

[11] Di-maushul-kan oleh Imam Bukhari. Hadits Abu Bakrah disebutkan pada nomor 547, hadits Mughirah pada nomor 550, hadits Abu Musa pada bab yang akan datang, hadits Ibnu Abbas pada nomor 554, dan hadits Ibnu Umar pada nomor 549. Dalam bab ini juga dibawakan hadits Abu Mas'ud yang tercantum pada nomor 548 dan hadits Aisyah yang tertera pada nomor 552, yang diriwayatkan juga di sini dengan isnadnya.

[12] Di-maushul-kan oleh Imam Bukhari pada hadits nomor 554 di muka dengan lafal, "Maka ingatlah kepada Allah."

[13] Hadits Abu Musa di-maushul-kan pada bab sebelumnya, dan hadits Aisyah disebutkan pada nomor 552 di muka.

Kitab Istisqa'




Bab Ke-1: Shalat Istisqa' (Yakni Shalat Mohon Turunnya Hujan) dan Keluarnya Nabi untuk Mengerjakannya
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abdullah bin Zaid al-Anshari yang akan disebutkan pada nomor 537.")


Bab Ke-2: Doa Nabi, "Jadikanlah Tahun-Tahun Ini Membawa Bencana kepada Mereka Seperti Tahun-Tahun Paceklik di Zaman Nabi Yusuf."

Bab Ke-3: Orang-Orang Meminta kepada Imam Supaya Berdoa Memohon Turunnya Hujan di Saat Mereka dalam Keadaan Terputus dan Turunnya Hujan
 
535. Abdullah bin Dinar berkata, "Saya mendengar Ibnu Umar mempresentasikan syair Abu Thalib, 'Semoga awan putih disiramkan dengan pertolongan (Zat)-Nya. Untuk menolong anak-anak yatim dan melindungi janda janda.'"

Dari jalan yang mu'allaq[1] dari Ibnu Umar, ia berkata, "Barangkali saya ingat perkataan seorang penyair ketika saya melihat wajah Rasulullah memohon hujan, dan beliau tidak turun sehingga tiap-tiap saluran (selokan) mengalir, 'Semoga awan putih disiramkan (dijadikan hujan dengan pertolongan) Zat-Nya, untuk menolong anak-anak yatim dan melindungi para janda.' Syair itu adalah perkataan Abu Thalib."

536. Anas bin Malik mengatakan bahwa Umar ibnul-Khaththab r.a. apabila terjadi kemarau panjang, dia memohon hujan dengan wasilah (perantaraan) Abbas bin Abdul Muthalib, lalu Umar berkata, "Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu membuat wasilah (perantaraan) dengan (doa) Nabi-Mu, kemudian Engkau turunkan hujan. Sesungguhnya kami (sekarang) berperantaraan dengan (doa) paman Nabi-Mu, maka berilah kami hujan." Anas berkata, "Lalu mereka diberi hujan."[2]

Bab Ke-4: Memindahkan atau Membalikkan Selendang di Waktu Mengerjakan Shalat Istisqa'
 
537. Abdullah bin Zaid (salah seorang sahabat Nabi saw. 2/20) mengatakan bahwa Nabi mengajak masyarakat pergi ke al-Mushalla (tanah lapang tempat shalat) untuk melakukan shalat istisqa'. Lalu, beliau berdoa kepada Allah sambil berdiri dan meminta hujan. Kemudian beliau menghadap kiblat dan memalingkan punggungnya kepada orang banyak. Beliau membalikkan selendangnya (menjadikan yang kanan di atas yang kiri), dan shalat mengimami kami dua rakaat dengan mengeraskan bacaannya dalam kedua rakaat itu. Lalu, mereka dituruni hujan." Abu Abdillah berkata, "Ibnu Uyainah berkata, 'Dia adalah seorang juru azan, tetapi anggapan ini keliru. Karena, dia ini adalah Abdullah bin Zaid bin Ashim al-Mazini, yang berlagak seperti kaum Anshar. (Dan yang pertama itu adalah orang Kufi, yaitu Ibnu Yazid).'"


Bab Ke-5: Istisqa' di Masjid Jami'
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Anas yang tertera pada nomor 497 di muka.")


Bab Ke-6: Istisqa' di dalam Khotbah Jumat Tanpa Menghadap ke Arah Kiblat
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Anas tadi.")


Bab Ke-7: Istisqa' di Mimbar
 
(Saya katakan, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits Anas tadi.")

Bab Ke-8: Orang yang Merasa Cukup Memohon Turunnya Hujan dengan Shalat Jumat

(Saya katakan, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits Anas tadi.")


Bab Ke-9: Berdoa Jika Jalan-Jalan Terputus karena Banyaknya Hujan yang Turun
 
(Saya katakan, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits Anas tadi.")


Bab Ke-10: Apa yang Dikatakan bahwa Nabi Tidak Mengubah Posisi Selendangnya Sewaktu Memohon Hujan pada Hari Jumat
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits Anas tadi.")

Bab Ke-11: Apabila Masyarakat Meminta Pertolongan kepada Imam Supaya Meminta Diturunkan Hujan buat Mereka, Maka Imam Jangan Sampai Menolak Permintaan Mereka Itu

(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan sebagian dari hadits Anas tadi.")

Bab Ke-12: Apabila Orang-Orang Musyrik Meminta Pertolongan kepada Kaum Muslimin Ketika Terjadi Paceklik atau Kekurangan Makanan
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Mas'ud yang tercantum pada '65 AT-TAFSIR/20 - SURAH'.")


Bab Ke-13: Berdoa Apabila Hujan Terlampau Banyak, Supaya Mengucapkan "Hawaalaina Wa Laa 'Alainaa"
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Anas tadi.")

Bab Ke-14: Berdoa untuk Turunnya Hujan dengan Berdiri
 
537. Abu Ishaq berkata, "Abdullah bin Yazid al-Anshari keluar bersama Barra' bin Azib dan Zaid bin Arqam r.a. untuk mengerjakan shalat istisqa'. Abdullah bin Yazid berdiri bersama dengan kawan-kawannya itu di atas kedua kakinya tanpa mimbar. Lalu ia beristigfar. Kemudian mengerjakan shalat dua rakat dengan mengeraskan bacaannya, tanpa didahului azan dan iqamah." Abu Ishak berkata, "Abdullah bin Yazid mengetahui cara shalat istisqa' itu ketika shalat bersama Nabi."

Bab Ke-15: Mengeraskan Bacaan dalam Shalat Istisqa'
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abdullah bin Zaid yang tertera pada nomor 537.")

Bab Ke-16: Bagaimana Nabi Membalikkan Punggungnya dan Membelakangi Orang Banyak
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abdullah bin Zaid di atas.")


Bab Ke-17: Shalat Istisqa' Dua Rakaat
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abdullah bin Zaid tadi.")


Bab Ke-18: Memohon Hujan di Mushalla
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan hadits Abdullah bin Zaid tadi.")

Bab Ke-19: Menghadap Kiblat dalam Shalat Istisqa'
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abdullah bin Zaid tadi.")

Bab Ke-20: Orang-Orang Mengangkat Tangan Bersama Imam Ketika Berdoa di Dalam Shalat Istisqa'
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Anas yang akan disebutkan di bawah ini.")

Bab Ke-21: Imam Mengangkat Tangannya dalam Shalat Istisqa'

539. Anas bin Malik berkata, "Nabi tidak mengangkat kedua tangan beliau sedikit pun dalam berdoa kecuali pada shalat istisqa'. Sesungguhnya beliau mengangkat kedua tangannya sehingga tampak putih kedua ketiak beliau."

Bab Ke-22: Apa yang Diucapkan Apabila Hujan Turun
 
Ibnu Abbas berkata, "Lafal shayyib pada kashayyibin berarti hujan."[3] Dan yang lain berkata, "Kata itu berasal dari kata shaaba wa ashaaba yashuubu."

540. Aisyah mengatakan bahwa Nabi saw. apabila melihat hujan, beliau berdoa:


"Ya Allah, jadikanlah hujan yang bermanfaat"

Bab Ke-23: Orang yang Berhujan-Hujan Sehingga Airnya Menetes Ke Janggutnya
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Anas yang tercantum pada nomor 497 di muka.")

Bab Ke-24: Apabila Angin Bertiup Kencang
 
541. Anas bin Malik berkata, "Apabila angin berembus kencang, maka hal itu diketahui pada wajah Nabi."

Bab Ke-25: Sabda Nabi, "Aku Diberi Pertolongan dengan Adanya Angin Timur"
 
542. Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Saya ditolong dengan angin timur, dan (kaum) Ad dibinasakan dengan angin barat."


Bab Ke-26: Apa yang Diucapkan Jika Terjadi Gempa Bumi dan Ayat-Ayat (Tanda Kekuasan) Allah
 
543. Abu Hurairah berkata, "Nabi bersabda, 'Tidak akan tiba hari kiamat sehingga ilmu pengetahuan (agama) dilenyapkan, banyak gempa bumi, masa saling berdekatan (semakin singkat), banyak timbul fitnah, banyak huru-hara yaitu pembunuhan, hingga harta benda melimpah ruah di antara kamu.'"

544. Ibnu Umar berkata, "Nabi berdoa, 'Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam dan Yaman kami.' Mereka berkata, Terhadap Najd kami.'[4] Beliau berdoa, 'Ya Allah, berkahilah Syam dan Yaman kami.' Mereka berkata, 'Dan Najd kami.' Beliau berdoa, 'Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam. Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Yaman.' Maka, saya mengira beliau bersabda pada kali yang ketiga, 'Di sana terdapat kegoncangan-kegoncangan (gempa bumi), fitnah-fitnah, dan di sana pula munculnya tanduk setan.'"

545. Zaid bin Khalid al Juhani berkata, "Kami keluar bersama Rasulullah pada tahun Hudaibiah, lalu kami ditimpa hujan pada suatu malam. Kemudian (5/62) Rasulullah menunaikan shalat subuh bersama kami di Hudaibiah pada bekas hujan yang turun semalam. Ketika selesai, beliau menghadap orang banyak dengan wajahnya seraya bersabda, 'Apakah kalian tahu apa yang difirmankan Tuhan kalian?' Mereka berkata, 'Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.' Beliau bersabda, 'Allah berfirman, 'Di antara hamba-hamba Ku ada orang yang beriman kepada Ku dan ada yang orang kafir kepada-Ku. Adapun orang yang berkata, 'Telah diturunkan hujan kepada kami sebab anugerah dan rezeki Allah serta rahmat Nya,' maka orang yang berkata demikian adalah orang yang beriman kepada-Ku dan mengkufuri bintang. Ada pun orang yang mengatakan, 'Telah diturunkan hujan kepada kami karena bintang ini dan ini,' maka orang yang berkata begini adalah kafir terhadap Aku, dan beriman kepada bintang.'"

Bab Ke-27: Firman Allah, "Kamu (mengganti) rezeki yang Allah berikan dengan mendustakan (Allah)." (al-Waa'qiah: 82)
 
Ibnu Abbas berkata, "Yakni kamu mengganti syukurmu dengan mendustakan Allah."[5]


Bab Ke-28: Tiada Seorang Pun yang Mengetahui Kapan Datangnya Hujan Kecuali Allah
 
Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Ada lima perkara yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah."[6]
546. Ibnu Umar berkata, "Rasulullah bersabda, 'Kunci-kunci gaib ada lima, yang hanya diketahui oleh Allah. Yaitu, tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi besok (kecuali Allah 5/219). Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang ada di dalam kandungan kecuali Allah. Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan ia lakukan besok. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan turunnya hujan.'" (Dan tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat kecuali Allah)[7] Dalam jalan (riwayat) lain: kemudian beliau membaca ayat, 'Sesungguhnya Allah, pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan, tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (5/193)

Catatan Kaki:

[1] Di-mu'allaq-kan oleh penyusun pada Umar bin Hamzah, dan di-maushul-kan oleh Ahmad (2/93) dan lainnya, tetapi di dalamnya terdapat kelemahan. Al-Hafizh berkata, "Dia diperselisihkan tentang kekuatannya untuk dijadikan hujjah. Demikian juga Abdur Rahman bin Abdullah bin Dinar yang tersebut pada jalan yang maushul. Maka, saya menguatkan salah satu dari kedua jalan itu dengan jalan lain, dan ini termasuk contoh salah satu dari dua jalan yang sahih sebagaimana ditetapkan dalam ilmu hadits."

[2] Pada permulaan hadits terdapat tambahan yang penting pada riwayat al-Ismaili dengan isnad Bukhari hingga Anas, katanya, "Orang-orang ditimpa kekeringan pada masa Nabi, meminta hujan dengan doa beliau. Lalu, beliau memintakan mereka agar diturunkan hujan. Kemudian diturunkan hujan buat mereka. Maka, pada waktu pemerintahan Umar." Lalu Anas melanjutkan hadits itu. Yang dimaksud dengan permohonan hujan mereka kepada Nabi saw. ialah meminta kepada beliau agar mendoakan kepada Allah buat mereka agar Dia menurunkan hujan kepada mereka. Dengan alasan, lafal "Fayastasqii lahum", yakni memohonkan hujan kepada Allah untuk mereka, lalu Allah menurunkan hujan kepada mereka. Kisah Anas pada bab al-Jum'ah di muka merupakan contoh tindakan paling jelas yang menggambarkan hakikat permohonan hujan dan tawasul mereka kepada Nabi saw. untuk memintakan hujan. Demikian pula istisqa' Umar kepada Abbas, bukanlah berperantara minta hujan dengan zat Abbas, melainkan dengan doanya. Hal ini diperkuat oleh hadits Ibnu Abbas, "Umar meminta hujan di mushalla (tanah lapang tempat shalat), lalu ia berkata kepada Abbas, 'Berdirilah dan mintakan hujan. ' Lalu Abbas berdiri seraya mengucapkan, 'Ya Allah, sesungguhnya di sisi-Mu ada awan." Hingga akhir doa. Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq (4913) dengan isnad yang lemah, tetapi al-Hafizh diam saja, barangkali karena banyak syahid 'pendukungnya'. Kalau sudah jelas demikian, maka hadits ini tidak dapat dijadikan dalil untuk memperbolehkan bertawasul (berperantara) dengan orang yang sudah meninggal dunia (mayit). Karena, semua peristiwa di atas adalah merupakan tawasul dengan doa orang yang masih hidup, dan yang demikian ini tidak mungkin terjadi sesudah yang bersangkutan meninggal dunia. Inilah yang menyebabkan Umar bertawasul dengan Abbas (yang masih hidup), bukan dengan Nabi saw. (vang sudah wafat). Ini tidak termasuk bab bertawasul dengan orang yang kurang utama dengan adanya orang yang utama sebagaimana anggapan mereka. Dan yang memperkuat pendapat ini lagi ialah bahwa tidak ada seorang salaf pun yang bertawasul meminta hujan dengan zat Nabi saw. sesudah wafat beliau. Mereka hanya bertawasul meminta hujan dengan doa orang yang hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh adh-Dhahhak bin Qais r.a. ketika ia meminta hujan dengan perantaraan Yazid bin Aswad al-Jarasyi pada zaman pemerintahan Muawiyah r.a.. Adapun apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah bahwa ada seorang laki-laki datang ke kubur Nabi saw, pada zaman pemerintahan Umar, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa." Kemudian orang itu bermimpi, dan ia mendengar perkataan dalam mimpinya, "Datanglah kepada Umar." "Hingga akhir hadits, maka hadits ini tidak sah sanadnya. Berbeda dengan pemahaman sebagian mereka terhadap perkataan al-Hadits dalam al-Fath, "dengan isnad sahih dari riwayat Abu Shalih as-Samman dari Malikud-Dar", karena isnad yang sahih itu hanya sampai pada Abu Shalih. Sedangkan, sesudah itu tidak demikian. Karena, Malik ini sepengetahuan saya tidak ada seorang pun ahli hadits yang menganggapnya dapat dipercaya, dan Ibnu Abi Hatim memutihkannya (4/1/213). Dan orang yang meminta hujan itu pun tidak diketahui namanya, sehingga dia adalah majhul. Dan penyebutan Saif di dalam kitabnya al-Futuh bahwa orang itu bernama Bilal bin al-Harits al-Muzani salah seorang sahabat, sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena Saif ini adalah Ibnu Umar at-Tamimi al-Asadi, dan adz-Dzahabi berkata, "Para ulama hadits meninggalkannya dan menuduhnya sebagai zinddiq."

[3] Di-maushul-kan oleh ath-Tbabari dengan sanad munqathi 'terputus' dari Ibnu Abbas.

[4] Yakni dengan diturunkan hujan di sana. Saya (al-Albani) berkata, "Lafal Najdina di situ maksudnya adalah negeri Irak kami, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat yang sahih. Demikian pulalah penafsiran al-Khaththabi dan al-Asqalani sebagaimana telah saya jelaskan di dalam risalah saya Fadhaailusy Syam (halaman 9-10, hadits nomor 8). Berbeda dengan pendapat kebanyakan orang sekarang yang karena ketidaktahuannya, menganggap bahwa yang dimaksud dengan Najd adalah Najd yang terkenal itu. Juga menganggap bahwa hadits itu menunjuk kepada Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Semoga Allah menyucikan mereka, karena merekalah yang mengibarkan bendera tauhid di negeri Najd dan lain-lainnya. Mudah-mudahan Allah membalas mereka dengan balasan yang sebaik-baiknya atas usahanya memperjuangkan Islam."
 
[5] Di-maushul-kan oleh Sa'id bin Manshur dengan sanad sahih dari Ibnu Abbas bahwa dia membaca, "Wa taj'aluuna syukrakum annakum tukadzdzibuun". Diriwayatkan dari Ibnu Abbas secara marfu, tetapi redaksinya menunjukkan penafsiran, bukan membaca ayat. Silakan periksa al-Fath.

[6] Di-maushul-kan oleh penyusun di muka dalam hadits pertanyaan Jibril tentang iman dan Islam (48).

[7] Dengan tambahan ini, maka urusan tersebut menjadi enam macam. Hal ini merupakan sesuatu yang rumit, dan bukan kerumitan pada asal-usulnya, karena pokok yang ketiga tidak disebutkan. Akan tetapi, keenam urusan ini dikompromikan dalam riwayat Ahmad (2/52) untuk menegaskan kemusykilannya. Karena itu, ada kemungkinan urusan atau pokok masalah yang pertama ini merupakan sesuatu yang syadz 'ganjil' karena tidak disebutkan di dalam ayat tersebut, dan tidak disebutkan dalam kebanyakan riwayat hadits pada penyusun (Imam Bukhari) dan Imam Ahmad (2/24,58,122). Wallahu a'lam.
 

Kitab Witir


Bab Ke-1: Keterangan-Keterangan Mengenai Shalat Witir

526. Nafi' mengatakan bahwa Abdullah bin Umar shalat antara serakaat dan dua rakaat dalam shalat witir. Sehingga, ia memerintahkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang dihajatkan olehnya.

527. Al-Qasim berkata, "Kamu melihat orang banyak sejak saat kami dewasa, semuanya mengerjakan shalat witir tiga rakaat, dan sesungguhnya masing-masing[1] leluasa dikerjakan. Aku berharap tidak ada suatu kesalahan pun."

528. Aisyah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah selalu shalat sebelas rakaat. Itulah shalat beliau, maksudnya di malam hari. Lalu beliau sujud selama sekitar salah seorang di antaramu membaca lima puluh ayat sebelum beliau mengangkat kepala. Beliau shalat dua rakaat sebelum shalat subuh. Beliau berbaring pada lambung yang sebelah kanan sehingga muadzin datang untuk (iqamah) shalat (subuh).


Bab Ke-2: Waktu-Waktu Melakukan Witir
 
Abu Hurairah berkata, "Nabi saw berpesan kepadaku supaya melakukan shalat witir sebelum tidur."[2]
529. Anas bin Sirin berkata, "Aku bertanya kepada Ibnu Umar, 'Apakah yang Anda ketahui mengenai shalat sunnah dua rakaat sebelum mengerjakan shalat subuh, apakah aku boleh memperpanjang bacaan padanya?' Ibnu Umar menjawab, 'Nabi shalat di waktu malam dua rakaat dua rakaat dan melakukan witir satu rakaat. Lalu, shalat dua rakaat sebelum shalat subuh dan seolah-olah azan (yakni iqamah) sudah ada di kedua telinganya." Hammad berkata, "Yakni dilakukan dengan cepat."[3]
530. Aisyah berkata, "Setiap malam Rasulullah melakukan witir dan witirnya berakhir sampai waktu sahur."


Bab Ke-3: Nabi Membangunkan Istrinya Supaya Mengerjakan Shalat Witir
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bagian dari hadits Aisyah yang tercantum pada nomor 289 di muka.")

Bab Ke-4: Hendaklah Seseorang Menjadikan Shalat Witir Sebagai Akhir Shalatnya (di Waktu Malam)
 
531. Abdullah bin Umar mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Jadikanlah akhir shalatmu pada malam hari dengan witir."

Bab Ke-5: Mengerjakan Shalat Witir di Atas Kendaraan
 
532. Sa'id bin Yasar berkata, "Pada suatu ketika aku berjalan bersama-sama Abdullah bin Umar di jalan menuju Mekah. Ketika aku merasa khawatir subuh akan datang, aku turun dari kendaraan lalu aku shalat witir, sesudah itu aku susul Abdullah. Abdullah bertanya, 'Ke mana engkau?' Aku menjawab, 'Aku khawatir kedahuluan masuk waktu subuh. Karena itu, aku turun dari kendaraan lalu aku shalat witir.' Abdullah berkata, 'Bukankah pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagimu?' Aku menjawab, 'Sudah tentu, demi Allah.' Abdullah menjawab, 'Sesungguhnya Rasulullah pernah melakukan shalat witir di atas kendaraan.'"[4]

Bab Ke-6: Mengerjakan Shalat Witir di Perjalanan
 
533. Ibnu Umar berkata, "Nabi shalat dalam perjalanan di atas kendaraannya. Ke arah mana pun kendaraannya menghadap, maka ke situ pulalah beliau menghadap sambil berisyarat sebagai melaksanakan shalatullail. Ini beliau lakukan selain shalat-shalat yang difardhukan. Beliau juga berwitir di atas kendaraannya."

Bab Ke-7: Qunut Sebelum Ruku dan Sesudahnya
 
534. Anas berkata, "Qunut itu pada shalat magrib dan subuh."

Catatan Kaki:

[1] Yakni witir satu rakaat dan tiga rakaat. Akan tetapi, witir tiga rakaat dengan dua tasyahhud kemudian salam, terdapat riwayat sahih yang melarangnya. Maka, cara mengerjakan shalat witir tiga rakaat ini boleh jadi dengan satu kali tasyahud, atau dibagi dua dengan melakukan dua rakaat lalu salam, kemudian satu rakaat lagi lantas salam. Penjelasan mengenai masalah ini dapat dilihat di dalam risalah saya Shalatut Tarawih halaman 111-115.

[2] Di-maushul-kan oleh penyusun (Imam Bukhari) di dalam bab yang akan datang pada "19 AT-TAHAJJUD / 33 - BAB", dan di-maushul-kan oleh Ahmad dari beberapa jalan (2/299, 254, 258, 260, 265, 271, 277, 311, 329, 331, 347, 392, 412, 459, 472, 484, 489, 497, 499, 505, 526).

[3] Dalam sebagian naskah disebutkan dengan lafal bi sur'atin 'dengan cepat'. Dan yang dimaksud dengan azan di sini adalah iqamah. Yakni, shalatnya cepat seperti cepatnya orang yang mendengar iqamah untuk shalat (gugup).

[4] Hadits ini ditentang oleh golongan Hanafiah. Mereka berkata, "Tidak boleh mengerjakan shalat witir di atas kendaraan." Akan tetapi, hadits ini menyangkal pendapat mereka. Ath-Thahawi menganggap di dalam Syarhul Ma'ani (1/249) bahwa pendapat itu mansukh, karena tidak ada dalilnya melainkan semata-mata pemikiran.

Kitab Dua Hari Raya




Bab Ke-1: Mengenai Dua Hari Raya dan Mengenakan yang Indah-Indah pada Hari Raya
 
(Saya katakan, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Umar yang tercantum pada nomor 475 di muka.")


Bab Ke-2: Bermain dengan Tombak dan Perisai pada Hari Raya
 
508. Aisyah berkata, "Rasulullah masuk padaku, dan di sisiku ada dua anak wanita (dari gadis-gadis Anshar 2/3, dan dalam satu riwayat: dua orang biduanita 4/266) pada hari Mina. Lalu, keduanya memukul rebana (4/161). Mereka menyanyi dengan nyanyian (dalam satu riwayat: dengan apa yang diucapkan oleh wanita-wanita Anshar pada hari) Perang Bu'ats[1] sedang keduanya bukan penyanyi. Beliau berbaring di atas hamparan dan memalingkan wajah beliau. Abu Bakar masuk, sedang Nabi
menutup wajah dengan pakaian beliau (2/11), lalu Abu Bakar menghardik saya (dan dalam satu riwayat: menghardik mereka) dan mengatakan, 'Seruling setan di (dalam satu riwayat: Pantaskah ada seruling setan di rumah) Rasulullah? Dia mengucapkannya dua kali. Lalu, Nabi menghadap Abu Bakar (dalam satu riwayat: lalu Nabi membuka wajahnya) lantas bersabda, 'Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar! Karena tiap-tiap kaum mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.' Maka, ketika beliau lupa, saya mengisyaratkan kepada kedua anak wanita itu, lalu keduanya keluar."
509. "Hari itu adalah hari raya, di mana orang Sudan (dalam satu riwayat: orang-orang Habasyah 1/117) bermain perisai dan tombak di dalam masjid. Barangkali saya yang meminta kepada Nabi atau barangkali beliau sendiri yang mengatakan kepadaku, 'Apakah engkau ingin melihat?' Saya menjawab, 'Ya.' Saya disuruhnya berdiri di belakang beliau di depan pintu kamarku. Beliau melindungiku dengan selendang beliau, sedang aku melihat permainan mereka di dalam masjid. Lalu, Umar[2] menghardik mereka. Kemudian Nabi bersabda, 'Biarkanlah mereka.' (4/162) Maka, saya terus menyaksikan (6/147) sedang pipiku menempel pada pipi beliau, dan beliau berkata, 'Silakan (dan dalam satu riwayat: aman) wahai bani Arfidah!' Sehingga, ketika aku sudah merasa bosan, beliau bertanya, 'Sudah cukup?' Aku menjawab, 'Cukup.' Beliau bersabda, 'Kalau begitu, pergilah.'" (Maka, perkirakanlah sendiri wanita yang masih muda usia, yang senang sekali terhadap permainan. 6/159)

Bab Ke-3: Berdoa pada Hari Raya
 

Bab Ke-4: Makan pada Hari Raya Fitri Sebelum Keluar
 
510. Anas berkata, "Rasulullah tidak pergi (ke tempat shalat) pada hari raya Fitri sehingga beliau memakan beberapa buah kurma. (Dan beliau memakannya dalam jumlah ganjil.)"[3]

Bab Ke-5: Makan pada Hari Raya Nahar Atau Idul Adha
 
511. Al-Bara' bin Azib r.a. berkata, "Nabi berpidato kepada kami pada hari raya kurban (Idul Adha) setelah shalat. Lalu beliau bersabda." (Dalam satu riwayat al-Bara' berkata, "Pada hari Adha Nabi keluar, lalu mengerjakan shalat Id dua rakaat. Kemudian menghadap kepada kami, seraya bersabda, 'Sesungguhnya kurban kita pada hari ini harus kita mulai dengan mengerjakan shalat Id, kemudian kita pulang, lalu kita sembelih kurban. 2/8) Barangsiapa yang shalat dengan shalat kita dan menyembelih dengan sembelihan kita, maka ia telah benar dalam berkurban (dalam riwayat lain: sesuai dengan Sunnah kami). Barangsiapa yang berkurban sebelum shalat, maka sesungguhnya sembelihan itu (menyembelih biasa) dan tidak ada kurban baginya." (Dalam satu riwayat: maka sesungguhnya yang demikian itu adalah daging yang ia segerakan untuk keluarganya, bukan kurban sedikit pun 2/6). (Dan dalam riwayat lain: barangsiapa yang mengerjakan shalat seperti shalat kita dan menghadap kiblat kita, maka janganlah ia menyembelih kurban sebelum selesai shalat. 6/238). Abu Burdah bin Niyar, paman Bara', berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya berkurban dengan kambing saya sebelum shalat dan saya mengetahui bahwa hari raya ini adalah hari makan dan minum. Saya senang kambing saya itu sebagai kambing pertama yang disembelih di rumahku. Karena itu, saya sembelih kambing saya dan saya makan sebelum mendatangi shalat (dan saya beri makan keluargaku dan tetanggaku." 2/10). Dalam riwayat lain, al-Bara' berkata, "Mereka mempunyai tamu di rumahnya, lalu Abu Burdah menyuruh keluarganya menyembelih sebelum ia pulang, agar tamunya dapat makan. Maka, mereka menyembelih kambing sebelum shalat. Kemudian peristiwa itu dilaporkan kepada Nabi, lalu beliau menyuruhnya untuk menyembelih kurban lagi. (7/227). Beliau bersabda, "Kambingmu adalah kambing daging." Ia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mempunyai kambing kecil betina, kami mempunyai anak binatang ternak (dalam satu riwayat: anak kambing betina yang jinak 6/237) yang lebih saya sukai daripada dua ekor kambing (dalam satu riwayat: saya mempunyai anak kambing betina, anak kambing penghasil susu, yang lebih baik daripada dua ekor kambing daging. Dalam riwayat lain: daripada seekor kambing yang lebih tua. Dan, dalam riwayat lain lagi: daripada dua ekor kambing yang lebih tua). Apakah itu mencukupi bagi saya?" Beliau menjawab, "Ya, tetapi tidak akan mencukupi bagi seorang pun sesudahmu."


Bab Ke-6: Keluar ke Tempat Shalat Tanpa Mimbar
 
512. Abu Sa'id al-Khudri berkata, "Rasulullah keluar pada hari raya Fitri dan hari raya Adha ke mushalla.[4] Yang pertama-tama beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berdiri dan menghadap manusia, dan manusia duduk di shaf-shaf mereka masing-masing. Beliau memberi nasihat, wasiat, dan perintah kepada mereka. Jika beliau mau menetapkan utusan, maka beliau mengutusnya; atau menyuruh sesuatu, maka beliau menyuruhnya, kemudian beliau pergi." Abu Sa'id berkata, "Orang-orang senantiasa berbuat demikan itu. Sehingga, saya keluar bersama Marwan, Gubernur Madinah, pada hari raya Adha atau Fitri. Ketika kami sampai di Mushalla, ternyata di sana ada mimbar yang dibuat oleh Katsir bin Shalt. Tiba-tiba Marwan mau naik mimbar sebelum shalat, maka saya menarik pakaiannya. Tetapi, ia menarikku, lantas ia naik dan berkhutbah sebelum shalat. Maka, saya katakan kepadanya, 'Demi Allah kamu telah mengubah.' Ia berkata, 'Wahai Abu Sa'id, apa yang kamu ketahui telah ketinggalan (usang).' Saya berkata kepadanya, 'Demi Allah, apa yang saya ketahui lebih baik daripada apa yang tidak saya ketahui.' Lalu ia (Marwan) melanjutkan perkataannya, 'Sesungguhnya orang-orang tidak lagi mau duduk bersama-sama kita sesudah shalat, maka saya jadikan khutbah itu sebelum shalat.'"

Bab Ke-7: Berjalan dan Berkendaraan ke Tempat Shalat Hari Raya serta Bab Tidak Adanya Azan dan Iqamah
 
513. Atha' mengatakan bahwa sesungguhnya Ibnu Abbas berkirim surat kepada Ibnu Zubair pada hari pertama ia dibai'at (yang isi suratnya), "Sesungguhnya shalat Idul Fitri itu tidak diazani sebagaimana shalat fardhu,[5] dan sesungguhnya khutbah Id itu dilakukan sesudah shalat."

514. Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah berkata, 'Tidak diadakan azan pada shalat hari raya Idul Fitri dan tidak pula pada Idul Adha."[6]
515. Jabir bin Abdullah berkata, "Sesungguhnya Nabi berdiri (dan dalam satu riwayat: keluar pada hari Idul Fitri), lalu memulai shalat. Kemudian berkhutbah di muka orang banyak sesudah shalat itu. Setelah Nabi selesai khutbah, beliau turun.[7] Kemudian mendatangi para wanita, memberi nasihat kepada mereka dan pada waktu itu beliau bersandar pada tangan Bilal. Bilal menggelar bajunya dan di baju itulah para wanita itu meletakkan sedekah mereka." Aku (perawi) bertanya kepada Atha', "Zakat pada hari raya Fitri?" Dia menjawab, 'Tidak, tetapi sedekah biasa yang mereka berikan pada waktu itu. Mereka lepas cincin mereka dan mereka lemparkan (ke baju bilal)." Saya bertanya (2/9), "Apakah Anda berpendapat bahwa di zaman kita sekarang ini imam boleh mendatangi kaum wanita, lalu memberi nasihat kepada mereka jika telah selesai shalat dan berkhutbah?" Atha' berkata, "Yang demikian itu sebenarnya adalah hak baginya. Kalau tidak boleh, maka apakah sebabnya tidak boleh mengerjakan demikian?"


Bab Ke-8: Berkhotbah Sesudah Shalat Hari Raya
 
516. Ibnu Umar berkata, "Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar biasa mengerjakan shalat hari raya sebelum khutbah."

Bab Ke-9: Dimakruhkan Membawa Senjata pada Hari Raya dan ketika Berada di Tanah Suci
 
Al-Hasan berkata, "Manusia dilarang membawa senjata pada hari raya, kecuali jika mereka dalam keadaan takut kepada musuh."[8]
517. Sa'id bin Jubair berkata, "Aku bersama Ibnu Umar ketika ia tertusuk oleh ujung tombak yang tajam di tapak kakinya bagian dalam, maka menempellah tapak kakinya itu pada sanggurdi. Lalu aku turun dan mencopotnya. Peristiwa itu terjadi di Mina. Hal itu didengar oleh Hajjaj, kemudian ia menjenguknya. Hajjaj berkata, 'Bagaimana keadaannya?' Jawab Ibnu Umar, 'Baik.' Hajjaj berkata, "Alangkah baiknya kalau kita mengetahui siapa orang yang menyebabkan Anda terkena bencana itu.' Ibnu Umar berkata, 'Andalah yang telah menimpakan bencana kepadaku.' Hajjaj menimpali, 'Bagaimana hal itu bisa terjadi?' Ibnu Umar menjawab, 'Anda membawa senjata pada hari yang tidak diperbolehkan membawa senjata, dan Anda memasukkan senjata ke tanah suci, padahal senjata itu tidak boleh dimasukkan ke tanah suci.'"

Bab Ke-10: Bersegera Mengerjakan Shalat Hari Raya
 
Abdullah bin Busr berkata, "Sesungguhnya kami selesai melakukannya pada saat ini, yaitu ketika bertasbih."
(Saya katakan, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits al-Barra' pada nomor 511 di muka.')

Bab Ke- 11: Keutamaan Beramal pada Hari-Hari Tasyrik[9]
 
Ibnu Abbas berkata, "'Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan (al-Hajj: 28),' ialah sepuluh hari (yang pertama dalam bulan Dzulhijjah); dan 'beberapa hari yang berbilang'[10] (al-Baqarah: 203) ialah hari-hari tasyrik."[11]
Ibnu Umar dan Abu Hurairah biasa pergi ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah sambil bertakbir, dan orang-orang yang di belakangnya turut bertakbir mengikuti takbirnya.[12]
Muhammad bin Ali bertakbir di belakang kafilah.[13]
518. Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Tidak ada amalan pada hari-hari lain yang lebih utama daripada sepuluh hari ini?" Mereka menjawab, "Tidakkah jihad (lebih utama)?" Beliau bersabda, "Bukan pula jihad, kecuali orang yang keluar dengan mempertaruhkan jiwa dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan sesuatu pun."


Bab Ke-12: Bertakbir Pada Hari-Hari Mina dan Ketika Pergi Ke Arafah
 
Umar r.a. biasa bertakbir di kubahnya di Mina. Lalu, terdengar oleh orang-orang yang di masjid, kemudian mereka bertakbir (mengikutinya). Bertakbir pula orang-orang yang di pasar-pasar, sehingga Mina gemuruh dengan takbir.[14]
Ibnu Umar biasa bertakbir di Mina pada hari-hari itu, ketika selesai shalat-shalat wajib, di tempat tidur, di tendanya, di majelisnya, dan di jalan, pada semua hari itu.[15]
Maimunah biasa bertakbir pada hari nahar (10 Dzulhijjah).[16]
Orang-orang wanita biasa bertakbir di belakang Aban bin Utsman, dan Umar bin Abdul Aziz, pada malam-malam hari tasyrik bersama kaum laki-laki di masjid.[17]
519. Muhammad bin Abu Bakar ats-Tsaqafi berkata, "Saya bertanya kepada Anas bin Malik ketika kami bersama-sama pergi dari Mina ke Arafah, tentang talbiah, 'Bagaimana Anda melakukan bersama Nabi?' Ia menjawab, 'Seseorang membaca talbiah tidak diingkari (oleh Nabi), dan seseorang bertakbir juga tidak diingkari (oleh Nabi).'"

Bab Ke-13: Shalat dengan Menggunakan Tombak (Sebagai Sutrah) Pada Hari Raya
 
(Saya katakan, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian hadits Ibnu Umar yang tertera pada nomor 279 yang lalu.")


Bab Ke-14: Membawa Tombak Kecil atau Tombak Biasa di Muka Imam pada Hari Raya
 
(Saya katakan, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bagian lain dari hadits Ibnu Umar yang diisyaratkan di atas.")

Bab Ke-15: Keluarnya Kaum Wanita dan Orang-Orang yang Sedang Haid ke Tempat Shalat
 
(Saya katakan, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dan hadits Ummu Athiyah yang tertera pada nomor 180.")


Bab Ke-16: Keluarnya Anak-Anak ke Tempat Shalat
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bagian dari hadits Ibnu Abbas yang disebutkan sesudah bab ini nanti.")


Bab Ke-17: Imam Menghadap Makmum ketika Khutbah Hari Raya
 
Abu Said berkata, "Nabi berdiri menghadap manusia (yakni ketika berkhutbah)"[18]
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits al-Barra' yang tertera pada nomor 511 di muka.")

Bab Ke-18: Bendera yang Berada di Tempat Shalat
 
520. Abdurrahman bin Abis berkata, "Aku mendengar Ibnu Abbas ditanya, 'Apakah Anda pernah menghadiri shalat hari raya bersama Nabi? Ia menjawab, 'Ya, tetapi andaikata bukan sebab dekatnya kedudukanku kepada Nabi, tentulah aku tidak menghadirinya, sebab aku masih kecil. Aku menyaksikan Nabi (1/33) keluar pada hari raya Fitri (2/5) bersama Bilal (1/33) hingga beliau tiba pada bendera yang diletakkan di tempat Katsir bin Shalt. Lalu, beliau shalat dua rakaat, tanpa melakukan shalat sebelumnya dan sesudahnya. Kemudian beliau berkhotbah (dan tidak menyebut-nyebut azan dan iqamah 2/162). Selasai berkhotbah, beliau mendatangi kaum wanita (dan dalam riwayat lain: maka Ibnu Abbas melihat bahwa beliau tidak memperdengarkan kepada kaum wanita, lalu beliau datang kepada mereka 2/122) bersama Bilal yang membentangkan kainnya. Nabi memberikan nasihat dan peringatan kepada mereka, dan menyuruh mereka agar mengeluarkan sedekah. Lalu beliau menyuruh Bilal darang kepada mereka. Maka, aku melihat kaum wanita itu mengulurkan tangan mereka ke telinga dan leher mereka. Lalu, mereka melemparkannya (dan dalam satu riwayat: maka orang-orang wanita itu melemparkan gelang dan anting-anting emas 2/118, dan dalam riwayat lain: anting-anting emas dan kalungnya. Ayyub mengisyaratkan kepada telinganya dan lehernya) pada kain Bilal. Kemudian beliau pulang ke rumahnya bersama Bilal."


Bab Ke-19: Imam Memberikan Nasihat kepada Kaum Wanita pada Hari Raya
 
521. Ibnu Abbas berkata, "Aku menghadiri shalat Idul Fitri bersama Nabi, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, semuanya mengerjakan shalat sebelum berkhotbah. Nabi keluar (lalu turun 6/62) seakan-akan aku masih melihat beliau ketika menyuruh orang banyak duduk dengan mengisyaratkan tangannya. Kemudian menghadapi mereka dan membelah barisan kaum lelaki (dan ini dilakukan sehabis berkhotbah). Sehingga, beliau mendatangi kaum wanita bersama Bilal, lalu beliau mengucapkan, 'Yaa ayyuhan nabiyyu idzaa jaa-akal mu'minaatu yubbaayi'naka ['alaa an laa yusyrikna billaahi syaian wa laa yasriqna wa laa yazniina wa laa yaqtulna aulaadahunna wa laa ya'tiina bi buhtaanin yaftariinahu baina aidiihinna wa arjulihinna]' 'Hai Nabi, jika kamu didatangi oleh kaum wanita hendak mengadakan bai'at atau berjanji setia kepadamu (untuk tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak mereka, dan tidak membuat-buat tuduhan perzinaan kepada orang lain dengan tuduhan palsu.' Hingga selesai 6/62) membaca ayat itu semuanya. Kemudian beliau bersabda setelah membaca ayat tersebut, 'Hai kaum wanita, apakah Anda sekalian seperti itu?' Seorang wanita di kalangan mereka menjawab, dan tiada seorang pun dari kaum wanita itu yang menjawab selainnya. Ia berkata, 'Benar wahai Rasulullah.' Al-Hasan (yang meriwayatkan hadits itu) tidak mengetahui siapa wanita yang menjawab itu. Nabi bersabda lagi, 'Kalau begitu, maka bersedekahlah kalian!' Kemudian Bilal membeberkan pakaiannya, lalu dia berkata, 'Marilah, Anda sekalian adalah penebus ayahku dan ibuku.' Kemudian orang-orang wanita itu meletakkan cincin besar-besar dari emas (yang biasa dipakai pada zaman jahiliah dulu), juga meletakkan cincin ukuran biasa di atas pakaian Bilal itu."[19]
Abdur Razzaq berkata, "Al Fatakh ialah cincin-cincin besar yang biasa dipakai pada zaman jahiliah."

Bab Ke-20: Jika Seorang Wanita Tidak Mempunyai Baju Kurung pada Hari Raya
 
(Saya katakan, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ummu Athiyah yang baru saja diisyaratkan di muka.")

Bab Ke-21: Menyendirinya Wanita yang Sedang Haid dan Menjauh Sedikit dari Tempat Shalat

(Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ummu Athiyah yang disebutkan di muka.)


Bab Ke-22: Menyembelih (Dzabah dan Nahar) pada Hari Raya Kurban di Tempat Shalat
 
522. Ibnu Umar r.a mengatakan bahwa Nabi saw biasa menyembelih (binatang kurban) di mushalla (tanah lapang tempat shalat Id).

Bab Ke-23: Pembicaraan Imam dan Orang Banyak dalam Khotbah Hari Raya dan Jika Imam Ditanya Mengenai Sesuatu, dan Ia Sedang Berkhotbah

523. Anas bin Malik berkata, "Sesungguhnya Rasulullah melakukan shalat pada hari raya kurban, kemudian berkhotbah. Lalu, menyuruh orang yang menyembelih kurban sebelum shalat, supaya mengulangi penyembelihannya (menyembelih kurban lagi). Kemudian ada seorang lelaki dari kaum Anshar, berkata, 'Wahai Rasulullah, (hari ini adalah hari yang orang menyukai daging 2/3), aku mempunyai beberapa orang tetangga-mungkin dia berkata-yang sangat membutuhkan'. Mungkin dia berkata, 'Mereka itu dalam keadaan fakir' (lalu Nabi saw. membenarkannya). 'Sebenarnya aku telah menyembelih sebelum shalat hari raya, dan aku mempunyai seekor kambing yang umurnya kurang dari setahun (dan dalam satu riwayat: masih muda). Tetapi, lebih aku sukai daripada daging dua ekor kambing biasa.' Nabi kemudian memberikan kelonggaran kepadanya dengan menyembelih kambing yang umurnya belum setahun dan disembelih sebelum shalat hari raya dilakukan. Tetapi saya tidak mengetahui apakah kelonggaran itu sampai kepada orang lain atau tidak."

524. Jundub berkata, "Nabi melakukan shalat Idul Adha, kemudian beliau berkhothah. Sesudah itu beliau menyembelih kurban, lalu bersabda, 'Barangsiapa yang menyembelih kurban sebelum shalat, hendaklah menyembelih lagi yang lain (sesudah shalat) sebagai gantinya. Dan, barangsiapa yang belum menyembelih, hendaklah menyembelih dengan nama Allah.'"

Bab Ke-24: Orang yang Berbeda Jalan Ketika Pulang pada Hari Raya dari Tempat Shalat
 
525. Jabir r.a. berkata, "Nabi apabila hari raya, beliau menyelisihi jalan (yakni menempuh jalan yang berbeda ketika pergi dan ketika pulang dari menunaikan shalat Id- penj.)."

Bab Ke-25: Apabila Terluput dari Shalat Hari Raya dengan Berjamaah, Bolehlah Shalat Dua Rakaat, Begitu Pula Kaum Wanita, Orang yang Ada di Rumah dan di Desa, Mengingat sabda Nabi saw., "Ini adalah hari raya kita umat Islam."[20]
 
Anas bin Malik memerintahkan mantan budaknya dan sahabatnya Ibnu Abi Utbah yang ada di pelosok supaya mengumpulkan keluarganya dan anak anaknya, dan melakukan shalat hari raya sebagaimana orang kota serta bertakbir seperti mereka.[21]
Ikrimah berkata, "Orang-orang pelosok berkumpul pada hari raya menunaikan shalat dua rakaat sebagaimana yang dilakukan imam."[22]
Atha' berkata, "Apabila seseorang terluput menunaikan shalat Id (dengan berjamaah), maka hendaklah ia menunaikannya dua rakaat."[23]
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah yang tersebut pada nomor 508 di muka.")


Bab Ke-26: Shalat Sunnah Sebelum dan Sesudah Shalat Hari Raya
 
Abul Mu'alla berkata, "Saya mendengar Said dari Ibnu Abbas membenci shalat Sunnah sebelum shalat Id."[24]
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya bagian dari hadits Ibnu Abbas yang tertera pada nomor 520 di muka.")


Catatan Kaki:

[1] Demikian lafat bu'ats dibaca sebagai isim munsharif (dengan tanwin kasrah; isim munsharif atau isim munawwan adalah isim yang dapat diberi tanda tanwin dan dapat diberi harkat kasrah) dan sebagai isim ghairu munsharif (tidak bertanwin dan tidak dapat diberi harkat kasrah, dan alamat jar-nya dengan fat-hah, kecuali kalau kemasukan alif lam yakni al-... atau dalam kedudukan sebagai mudhaf-penj.). Bu'ats adalah nama sebuah benteng yang di sisinya terjadi peperangan antara suku Aus dan Khazraj tiga tahun sebelum hijrah.

[2] Demikianlah dalam riwayat Karimah yang menyebutkan nama pelakunya (Umar) secara jelas. Demikian pula di dalam riwayat Imam Ahmad (2/540) dan Nasa'i (1/236) dari hadits Abu Hurairah dengan sanad sahih.
 
[3] Demikian tambahan dari penyusun secara mu'allaq, dan di-maushul-kan oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Ismaili dan lain-lainnya.
 
[4] Mushalla ini adalah suatu tempat yang terkenal di Madinah, yang jarak antaranya dengan Masjid Nabawi seribu hasta sebagaimana dikutip al-Hafizh Ibnu Hajar dari al-Kanani, sahabat Imam Malik.

[5] Abdur Razzaq menambahkan di dalam al Mushannaj (2/77/5628) dari jalan periwayatan Imam Bukhari dengan tambahan, "Maka tidak diazani untuknya." Kata Atha', "Ibnu Zubair tidak mengadakan azan pada hari itu. Ibnu Abbas berkirim surat kepadanya yang isinya, 'Sesungguhnya khutbah itu dilakukan setelah shalat Id.' Ibnu Zubair pun melaksanakannya." Kata Atha', "Maka, Ibnu Zubair shalat Id sebelum khutbah. Kemudian Ibnu Shafwan dan sahabat-sahabatnya bertanya kepadanya, mereka berkata, "Mengapa engkau tidak berazan untuk kami? Kemudian datanglah waktu shalat kepada mereka pada hari itu. Maka, ketika hubungan antara dia dan Ibnu Abbas memburuk, Ibnu Zubair tidak berani melanggar perintah Ibnu Abbas." Saya (al-Albani) katakan, "Zahir perkataan Ibnu Abbas kepada Ibnu Zubair, 'Maka, janganlah engkau berazan untuk shalat Id', adalah karena Ibnu Zubair biasa mengadakan azan sebelum itu, maka ini berarti Ibnu Abbas melarangnya dari perbuatan itu. Hal ini diperkuat dengan perkataan Atha' pada akhir perkataannya, 'Ketika hubungannya memburuk, maka Ibnu Zubair tidak berani melanggar perintah Ibnu Abbas.' Riwayat yang lebih kuat dari itu menerangkan bahwa Shafwan dan sahabat-sahabatnya ketinggalan (terluput) melakukan shalat Id, dan hal itu disebabkan-wallahu a'lam-mereka tidak mendengar azan yang biasa mereka dengarkan sebelumnya. Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa orang yang pertama kali mengadakan azan dalam shalat Id. Ada yang mengatakan bahwa yang mula-mula mengadakannya adalah Muawiyah, dan terdapat riwayat yang sahih bahwa dia melakukan hal itu, dan masih ada pendapat-pendapat lain lagi. Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Abu Qilabah, katanya, "Orang yang mula-mula mengadakannya adalah Ibnu Zubair." Saya (al-Albani) katakan, "Kalau riwayat ini sahih dari Ibnu Zubair, maka dia adalah orang pertama yang mengadakannya di Hijaz, sedang Muawiyah adalah orang yang pertama kali mengadakannya di Syam. Wallahu a'lam." Mengenai hal ini terdapat ungkapan yang bagus untuk dipegangi, yaitu bahwa apabila terdapat sunnah yang sahih, maka tidak boleh bertaklid kepada orang yang menyelisihinya, meskipun dia seorang sahabat. Maka, Muawiyah dan Ibnu Zubair-mudah-mudahan Allah meridhai keduanya-telah mengadakan azan shalat Id yang tidak pernah terjadi pada zaman Nabi saw., barangkali dari segi ini, maka orang-orang yang shalat di belakang Ibnu Zubair membaca amin dengan keras sehingga riuh rendah suaranya di masjid, sebagaimana diriwayatkan secara mu'allaq di muka (1/193). Di antaranya lagi ialah shalat gerhana yang dilakukan Ibnu Zubair dengan cara seperti melakukan shalat subuh. Maka, saudara Zubair yang bernama Urwah ketika ditanya tentang hal itu, dia menjawab, "Menyalahi Sunnah", sebagaimana akan disebutkan pada kitab al-Kusuf bab keempat. Di antara tindakannya lagi ialah mengusap dengan tangannya pada tiang-tiang Baitullah yang empat, sedangkan menurut Sunnah ialah mengusap dua rukun Yamani saja, sebagaimana akan disebutkan pada "25 - AL-HAJJ / 59 - BAB".
 
[6] Hadits Ibnu Abbas akan disebutkan sebentar lagi pada nomor 520, karena itu di sini tidak saya beri nomor tersendiri.
 
[7] Nabi saw. tidak pernah khutbah Id di atas mimbar sebagaimana ditunjuki hadits Abu Sa'id di muka tadi. Kemungkinan beliau berada di tempat yang tinggi, kemudian turun. Wallahu a'lam.

[8] Al-Hafizh berkata, "Saya tidak mendapatinya maushul, tetapi terdapat riwayat seperti ini secara marfu dan muqayyad 'dengan ada persyaratan' serta ada yang tidak muqayyad. Kemudian disebutkannya yang muqayyad dari riwayat Ibnu Majah dengan isnad yang dhaif dari Ibnu Abbas, dan yang lain disebutkan dari riwayat Abdur Razzaq dengan isnad yang mursal.

[9] Sudah populer bahwa hari-hari tasyrik sesudah hari nahar (tangga110 Dzulhijjah) itu diperselisihkan, apakah dua hari atau tiga hari. Akan tetapi, beberapa atsar memberikan kesaksian bahwa hari Idul Adha itu termasuk hari tasyrik, dan pendapat ini dikuatkan oleh Abu Ubaid berdasarkan apa yang dikutip dan ditahqiq oleh al-Hafizh dalam al-Fath.
 
[10] Bunyi teks bacaannya ialah "Wayadzkurullaaha fii ayaamin ma'luumaat" atau "Wadzkurullaaha fii ayyaamin ma'duudaat". Yang dimaksudkan oleh Ibnu Abbas bukan bacaannya, tetapi penafsiran kata "ma'duudaat" dan "ma'luumaat".
 
[11] Di-maushul-kan oleh Abd bin Humaid dari Amr bin Dinar dari Ibnu Abbas.
 
[12] Al-Hafizh berkata, "Saya tidak mendapatinya secara maushul dari mereka."
 
[13] Muhammad bin Ali adalah Abu Ja'far al-Baqir, dan di-maushul-kan oleh ad-Daruquthni darinya dalam al-Mu'talif.

[14] Di-maushul-kan oleh Abu Ubaid, dan di-maushul-kan pula dari jalannya oleh al-Baihaqi (3/312) dari Umar, dan di-maushul-kan oleh Said bin Manshur dari jalan lain darinya.

[15] Di-maushul-kan oleh Ibnul Mundzir dan al-Fakihi dalam Akhbaaru Makkah dengan sanad sahih dari Ibnu Umar.

[16] AI-Hafizh berkata, "Saya tidak mendapatinya secara maushul."
 
[17] Di-maushul-kan oleh Abu Bakar Ibnu Abid Dun-ya dalam Kitab al-Idain. Al-Hafizh berkata, "Hadits Ummu Athiyah dalam bab ini mendahului mereka dalam hal itu."

[18] Ini adalah bagian dari hadits yang di-maushul-kan oleh penyusun pada nomor 512 di muka..
 
[19] Kisah ini telah disebutkan dari jalan lain dari Ibnu Abbas secara ringkas. Maka, kemungkinan cerita ini dua macam, dan mungkin juga hanya satu, dan sebagian perawi meringkasnya. Wallahu a'lam.

[20] Al-Hafizh berkata, "Saya tidak mengetahuinya demikian. Sesungguhnya bagian pertamanya terdapat di dalarn hadits Aisyah tentang kisah dua wanita yang menyanyi -yakni hadits yang baru disebutkan di muka (2-BAB). Adapun sisanya, kemungkinan diambil dari hadits Uqbah bin Amir secara marfu, 'Hari Mina adalah hari raya kita umat Islam'", yang mana hadits ini diriwayatkan dalam As-Sunan dan disahkan oleh Ibnu Khuzaimah.
 
[21] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah (2/183) yang seperti itu.
 
[22] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah (2/191) yang sama dengannya dengan sanad sahih.
 
[23] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Faryabi dengan sanad sahih.
 
[24] Al-Hafizh berkata, "Saya tidak menjumpainya yang maushul." Saya (Al-Albani) berkata, "Abdur Razzaq meriwayatkannya (5624) dengan sanad sahih dari maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas, ia berkata, 'Tidak boleh mengerjakan shalat sunnah sebelum dan sesudahnya.'"