Kisah Nabi Daud a.s (Tidak Tamak Dengan Kekuasaan)




Daud Dan Raja Thalout

Al-Kisah, ketika raja Thalut raja Bani Isra’il mengerahkan orang supaya menjadi tentera dan menyusun tentera rakyat untuk berperang melawan bangsa Palestin, Daud bersama dua orang kakaknya diperintahkan oleh ayahnya untuk turut berjuang dan menggabungkan diri ke dalam barisan laskar Thalut. Khusus kepada Daud sebagai anak yang termuda di antara tiga bersaudara, ayahnya berpesan agar ia berada di barisan belakang dan tidak boleh turut bertempur. Ia ditugaskan hanya untuk melayani kedua kakaknya yang harus berada dibarisan depan, membawakan makanan dan minuman serta keperluan-keperluan lainnya bagi mereka, di samping ia harus dari waktu ke waktu memberi laporan kepada ayahnya tentang jalannya pertempuran dan keadaan kedua kakaknya di dalam medan perang. Ia sesekali tidak diizinkan maju ke garis depan dan turut bertempur, mengingat usianya yang masih muda dan belum ada pengalaman berperang sejak ia dilahirkan.

Akan tetapi ketika pasukan Thalut dari Bani Isra’il berhadap-hadapan dengan pasukan Jalut dari bangsa Palestin, Daud lupa akan pesan ayahnya tatkala mendengar suara Jalut yang nyaring dengan penuh kesombongan menentang mengajak berperang, sementara para ksatria perang Bani Isra’il berdiam diri sehinggapi rasa takut menghinggap di hati. Ia secara spontan menawarkan diri untuk maju menghadapi Jalut dan terjadilah pertempuran antara mereka berdua yang berakhir dengan terbunuhnya Jalut.

Sebagai imbalan bagi jasa Daud mengalahkan Jalut maka dijadikan menantu oleh Thalut dan dinikahkannya dengan puterinya, sesuai dengan janji yang telah diumumkan kepada pasukannya bahwa puterinya akan dinikahkan dengan orang yang dapat bertempur melawan Jalut dan mengalahkannya.
 Di samping ia dipungut sebagai menantu, Daud diangkat pula oleh raja Thalut sebagai penasihatnya dan orang kepercayaannya. Ia disayang, disanjung dan dihormati serta disegani bukan saja oleh mertuanya bahkan oleh seluruh rakyat Bani Isra’il yang melihatnya sebagai pahlawan bangsa yang telah berhasil mengangkat keturunan serta darajat Bani Isra’il di mata bangsa-bangsa sekelilingnya.

Suasana keakraban, saling sayang dan saling cinta yang meliputi hubungan sang menantu Daud dengan sang mertua Thalut tidak dapat bertahan lama. Pada akhirnya Daud merasa bahwa ada perubahan dalam sikap mertuanya terhadap dirinya. Muka manis yang biasa ia dapat dari mertuanya berbalik menjadi muram dan kaku, kata-katanya yang biasa didengar lemah-lembut berubah menjadi kata-kata yang kasar dan keras. Bertanya ia kepada diri sendiri gerangan apakah kiranya yang menyebabkan perubahan sikap yang mendadak itu? Adakah hal-hal yang dilakukan yang dianggap oleh mertuanya kurang layak, sehingga menjadikan ia marah dan benci kepadanya? Ataukah mungkin hati mertuanya termakan oleh hasutan dan fitnah orang yang sengaja ingin merusak suasana harmoni dan damai di dalam rumah tangganya? Bukankah ia seorang menantu yang setia dan taat kepada mertua dan telah memenuhi tugasnya dalam perang dengan sebaik-baiknya? dan bukankah ia selalu tetap bersedia mengorbankan jiwa raganya untuk membela dan mempertahankan kekekalan kerajaan mertuanya?

Daud tidak mendapat jawapan yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan yang melintasi fikirannya itu. Ia kemudian kembali kepada dirinya sendiri dan berkata dalam hatinya mungkin apa yang ia lihat sebagai perubahan sikap dan perlakuan dari mertuannya itu hanya suatu dugaan dan prasangka belaka dari pihaknya dan kalau pun memang ada maka mungkin disebabkan oleh urusan-urusan dan masalah-masalah peribadi dari mertua yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya sebagai menantu. Demikianlah dia mencuba menenangkan hati dan fikirannya yang galau.

Pada suatu malam gelap yang sunyi senyap, ketika ia berada di tempat tidur bersam isterinya Mikyal. Daud berkata kepada isterinya: “Wahai Mikyal, entah benarkah aku atau salahkah aku dalam tanggapanku dan apakah hanya dugaan hatiku belaka tentang apa yang aku lihat dalam sikap ayahmu terhadap diriku? Aku melihat akhir-akhir ini ada perubahan sikap dari ayahmu terhadap diriku. Ia selalu menghadapi aku dengan muka muram dan kaku tidak seperti biasanya. Kata-katanya kepadaku tidak selemah lembut seperti dulu. Dari pancaran pandangannya kepadaku aku melihat tanda-tanda antipati dan benci kepadaku. Ia selalu menggelakkan diri dari duduk bersama aku dan berbincang-bincang sebagaimana dahulu ia lakukan bila ia melihatku berada di sekitarnya.”

Mikyal menjawab seraya menghela nafas panjang dan mengusap air mata yang terjatuh di atas pipinya: “Wahai Suamiku aku tidak akan menyembunyikan sesuatu daripadamu dan sesekali tidak akan merahasiakan hal-hal yang sepatutnya engkau ketahui. Sesungguhnya sejak ayahku melihat bahwa keturunanmu makin naik di mata rakyat dan namamu menjadi buah mulut yang disanjung-sanjung sebagai pahlawan dan penyelamat bangsa, ia merasa iri hati dan khawatir bila pengaruhmu di kalangan rakyat makin meluas dan kecintaan mereka kepadamu makin bertambah, hal itu akan dapat melemahkan kekuasaannya dan bahkan mungkin mengganggu kewibawaan kerajaannya. Ayahku walau ia seorang mukmin dan berilmu dan bukan dari keturunan raja yang menikmati kehidupan yang mewah, menduduki yang empuk dan merasakan manisnya berkuasa. Orang selalu mengiakan kata-katanya, melaksanakan segala perintahnya dan membungkukkan diri jika menghadapinya. Ia khawatir akan kehilangan itu semua dan kembali ke tanah ladangnya dan usaha ternaknya di desa. Karananya ia tidak menyukai orang menonjol yang dihormati dan disegani rakyat apalagi dipuja-puja dan dianggapnya pahlawan bangsa seperti engkau. Ia khawatir bahawa engkau sewaktu-waktu dapat merenggut kedudukan dan mahkotanya dan menjadikan dia terpaksa kembali kehidupnya yang lama.”

“Wahai Suamiku”, Mikyal meneruskan ceritanya, “Aku mendapat berita bahwa ayahku sedang memikirkan suatu rencana untuk menyingkirkan engkau dan mengikis habis pengaruhmu di kalangan rakyat dan walaupun aku masih meragukan kebenaran berita itu, aku rasa tidak ada salahnya jika engkau dari sekarang berlaku waspada dan hati-hati terhadap kemungkinan terjadi hal-hal yang malang bagi dirimu.”
 Daud merasa heran dengan kata-kata isterinya itu lalu ia bertanya kepada dirinya sendiri dan kepada isterinya: “Mengapa terjadi hal yang sedemikian itu? Mengapa kesetiaanku diragukan oleh ayah mu, padahal aku dengan jujur dan ikhlas hati berjuang di bawah benderanya, menegakkan kebenaran dan memerangi kebathilan serta mengusir musuh ayahmu, Thalut telah dimasuki godaan Iblis yang telah menghilangkan akal sehatnya serta mengaburkan jalan fikirannya?” Kemudian Daud dan istrinya pun beristirahat selesai mengucapkan kata-kata itu.

Pada esok harinya Daud terbangun oleh suara seorang pesuruh Raja yang menyampaikan panggilan dan perintah kepadanya untuk segera datang menghadap. Berkata sang raja kepada Daud yang berdiri tegak di hadapannya: “Hai Daud fikiranku belakangan ini sangat terganggu oleh sebuah berita yang sangat memusingkan. Aku mendengar bahwa bangsa Kan’an sedang menyusun kekuatannya dan mengerahkan rakyatnya untuk datang menyerang dan menyerbu daerah kita. Engkaulah harapan ku satu-satunya, hai Daud kamulah yang akan dapat menangani urusan ini maka ambillah pedangmu dan siapkanlah peralatan perangmu, pilihlah orang-orang yang engkau percayai di antara tenteramu dan pergilah serbu mereka di rumahnya sebelum mereka sempat datang kemari. Janganlah engkau kembali dari medan perang kecuali dengan membawa bendera kemenangan atau dengan jenazahmu dibawa di atas bahu orang-orangmu.”

Thalut hendak mencapi dua tujuan sekaligus dengan siasatnya ini, ia handak menghancurkan musuh yang selalu mengancam negerinya dan bersamaan dengan itu mengusir Daud dari atas buminya karena hampir dapat dipastikan bahwa Daud tidak akan kembali selamat dan pulang hidup dari medan perang kali ini. Siasat yang mengandungi niat jahat dan tipu daya Thalut itu bukan tidak diketahui oleh Daud. Ia merasa ada udang dibalik batu dalam perintah raja Thalut itu kepadanya, namun ia sebagai rakyat yang setia dan anggota tentera yang berdisiplin ia menerima dan melaksanakan perintah itu dengan sebaik-baiknya tanpa mempedulikan atau memperhitungkan akibat yang akan menimpa dirinya.

Dengan bertawakkal kepada Allah, berpasrah diri kepada takdir-Nya dan berbekal iman dan takwa di dalam hatinya berangkatlah Daud beserta pasukannya menuju daerah bangsa Kan’an. Ia tidak luput dari lindungan Allah yang memang telah menyuratkan dalam takdir-Nya mengutus Daud sebagai Nabi dan Rasul. Maka kembalilah Daud ke kampung halamannya berserta pasukannya dengan membawa kemenangan gilang-gemilang. Kedatangan Daud kembali dengan membawa kemenangan diterima oleh Thalut dengan senyum dan tanda gembira yang dipaksakan oleh dirinya. Ia berpura-pura menyambut Daud dengan penghormatan yang besar dan puji-pujian yang berlebih-lebihan namun dalam dadanya makin menyala-nyala api dendam dan kebenciannya, apalagi disadarinya bahwa dengan berhasilnya Daud menggondol kemenangan, pengaruhnya di mata rakyat makin naik dan makin dicintainyalah ia oleh Bani Isra’il sehingga di mana saja orang berkumpul tidak lain yang diperbincangkan hanyalah tentang diri Daud, keberaniannya, kecakapannya memimpin pasukan dan kemahirannya menyusun strategi dengan sifat-sifat ksatria yang dapat mengalahkan bangsa Kan’an dan membawa kemenangan yang menjadi kebanggaan seluruh penduduk negeri.

Gagallah siasat Thalut menyingkirkan Daud dengan meminjam tangan orang-orang Kan’an. Ia kecewa tidak melihat jenazah Daud diusung oleh orang-orang nya yang kembali dari medan perang sebagaimana yang ia harapkan, tetapi ia melihat Daud dalam keadaan segar-bugar gagah perkasa berada di hadapan pasukannya menerima elu-eluan rakyat dan sorak-sorai tanda cinta kasih sayang mereka kepadanya sebagai pahlawan bangsa yang tidak terkalahkan. Thalut yang dibayangi rasa takut akan kehilangan kekuasaan melihat makin meluasnya pengaruh Daud, terutama sejak kembalinya dari perang dengan bangsa Kan’an, kemudian berfikir bahwa jalan satu-satunya yang akan menyelamatkan dia dari ancaman Daud ialah membunuhnya secara langsung. Lalu diaturlah rencana pembunuhannya sedemikian cermatnya sehingga tidak akan menyeret namanya kedalam konspirasi ini. Mikyal, isteri Daud yang dapat mencium rancangan jahat ayahnya itu, segera memberitahu kepada suaminya, agar ia segera menjauhkan diri dan meninggalkan kota secepat mungkin sebelum rancangan jahat itu sempat dilaksanakan . Maka keluarlah Daud memenuhi anjuran isterinya yang setia itu meninggalkan kota diwaktu malam gelap dengan tiada membawa bekal kecuali iman di dada dan kepercayaan yang teguh yang akan pertolongan Allah dan rahmat-Nya.

Setelah berita menghilangnya Daud dari istana Raja diketahui oleh umum, maka berbondong-bondonglah menyusul yaitu saudara-saudaranya, murid-muridnya dan para pengikutnya mencari jejaknya untuk menyampaikan rasa setiakawan mereka serta menawarkan bantuan dan pertolongan yang mungkin diperlukannya.
 Mereka menemui Daud sudah agak jauh dari kota, ia lagi istirahat seraya merenungkan nasib yang ia alami sebagai akibat dari perbuatan seorang hamba Allah yang tidak mengenal budi baik sesamanya dan yang selalu memperturutkan hawa nafsunya sekadar untuk mempertahankan kekuasaan duniawinya. Hamba Allah itu tidak sadar, Daud berfikir bahwa kenikmatan dan kekuasaan duniawi yang ia miliki adalah pemberian Allah yang sewaktu-waktu dapat dicabut-Nya kembali daripadanya. Wallahu’alam
Bagikan Artikel Ini :