Tatkala berumur dua puluh sembilan
tahun, tak lama sesudah putra pertamanya lahir, Gautama mengambil keputusan dia
mesti meninggalkan kehidupan istananya dan mengharnbakan diri kepada upaya
mencari kebenaran sejati yang bukan sepuhan. Berpikir bukan sekedar berpikir,
melainkan bertindak. Dengan lenggang kangkung dia tinggalkan istana, tanpa
membawa serta anak-bini, tanpa membawa barang dan harta apa pun, dan menjadi
gelandangan dengan tidak sepeser pun di kantong. Langkah pertama, untuk
sementara waktu, dia menuntut ilmu dari orang-orang bijak yang ada saat itu dan
sesudah merasa cukup mengantongi ilmu pengetahuan, dia sampai pada tingkat
kesimpulan pemecahan masalah ketidakpuasan manusia.
Umum beranggapan, bertapa itu jalan
menuju kearifan sejati. Atas dasar anggapan itu Gautama mencoba menjadi seorang
pertapa, bertahun-tahun puasa serta menahan nafsu sehebat-hebatnya. Akhirnya dia
sadar laku menyiksa diri ujung-ujungnya cuma mengaburkan pikiran, dan bukannya
malah menuntun lebih dekat kepada kebenaran sejati. Pikir punya pikir, dia
putuskan mendingan makan saja seperti layaknya manusia normal dan stop bertapa
segala macam karena perbuatan itu bukan saja tidak ada gunanya melainkan bisa
bikin badan kerempeng, loyo, mata kunang-kunang, ngantuk, linu, bahkan juga
mendekati bego.
Dalam kesendirian yang tenang
tenteram dia bergumul dengan perikehidupan problem manusiawi. Akhirnya pada
suatu malam, ketika dia sedang duduk di bawah sebuah pohon berdaun lebar dan
berbuahkan semacarn bentuk buah pir yang sarat biji segala macam, maka
berdatanganlah teka-teki masalah hidup seakan berjatuhan menimpanya. Semalam
suntuk Siddhartha merenung dalam-dalam dan ketika mentari merekah di ufuk timur
dia tersentak dan berbarengan yakin bahwa terpecahkan sudah persoalan yang rumit
dan dia pun mulai saat itu menyebut dirinya Buddha "orang yang diberi
penerangan."
Pada saat itu umurnya menginjak tiga
puluh lima tahun. Sisa umurnya yang empat puluh lima tahun dipergunakannya
berkelana sepanjang India bagian utara, menyebarkan filosofi barunya di depan
khalayak siapa saja yang sudi mendengarkan. Saat dia wafat, tahun 483 sebelum
Masehi, sudah ratusan ribu pemeluk ajarannya. Meskipun ucapan-ucapannya masih
belum ditulis orang tapi petuah-petuahnya dihafal oleh banyak pengikutnya di
luar kepala, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat mulut
semata.
Pokok ajaran Buddha dapat diringkas
di dalam apa yang menurut istilah penganutnya "Empat kebajikan kebenaran:"
pertama, kehidupan manusia itu pada dasarnya tidak bahagia; kedua, sebab-musabab
ketidakbahagiaan ini adalah memikirkan kepentingan diri sendiri serta
terbelenggu oleh nafsu; ketiga, pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu
dapat ditekan habis bilamana segala nafsu dan hasrat dapat ditiadakan, dalam
ajaran Buddha disebut nirvana; keempat, menimbang benar, berpikir benar,
berbicara benar, berbuat benar, cari nafkah benar, berusaha benar, mengingat
benar, meditasi benar. Dapat ditarnbahkan Agama Buddha itu terbuka buat siapa
saja, tak peduli dari ras apa pun dia, (ini yang membedakannya dengan Agama
Hindu).
Beberapa saat sesudah Gautama wafat
agama baru ini merambat pelan. Pada abad ke-3 sebelum Masehi, seorang kaisar
India yang besar kuasa bernama Asoka menjadi pemeluk Agama Buddha. Berkat
dukungannya, penyebaran Agama Buddha melesat deras, bukan saja di India tapi
juga di Birma. Dari sini agarna itu menjalar ke seluruh Asia Tenggara, ke
Malaysia dan Indonesia.
Angin penyebaran pengaruh itu bukan
cuma bertiup ke selatan melainkan juga ke utara, menerobos masuk Tibet, ke
Afghanistan dan Asia Tengah. Tidak sampai situ. Dia mengambah Cina dan merenggut
pengaruh yang bukan buatan besarnya dan dari sana menyeberang ke Jepang dan
Korea.
Sedangkan di India sendiri agama
baru itu mulai menurun pengaruhnya sesudah sekitar tahun 500 Masehi malahan
nyaris punah di tahun 1200. Sebaliknya di Cina dan di Jepang, Agama Buddha tetap
bertahan sebagai agama pokok. Begitu pula di Tibet dan Asia Tenggara agama itu
mengalami masa jayanya berabad-abad.
Ajaran-ajaran Buddha tidak tertulis
hingga berabad-abad sesudah wafatnya Gautama. Karena itu mudahlah dimaklumi
mengapa Agama itu terpecah-pecah ke dalam pelbagai sekte. Dua cabang besar Agama
Buddha adalah cabang Theravada-pengaruhnya terutama di Asia Tenggara dan menurut
anggapan sebagian besar sarjana-sarjana Barat cabang inilah yang paling
mendekati ajaran-ajaran Buddha yang asli-. Cabang lainnya adalah Mahayana, bobot
pengaruhnya terletak di Tibet, Cina dan juga di Asia Tenggara secara umum.
Buddha, selaku pendiri salah satu
agama terbesar di dunia, jelas layak menduduki urutan tingkat hampir teratas
dalam daftar buku ini. Karena jumlah pemeluk Agama Buddha tinggal 200 juta
dibanding dengan pemeluk Agama Islam yang 500 juta banyaknya dan satu milyar
pemeluk Agama Nasrani, dengan sendirinya pengaruh Buddha lebih kecil ketimbang
Muhammad atau Isa. Akan tetapi, beda jumlah penganut -jika dijadikan ukuran yang
keliwat ketat- bisa juga menyesatkan. Misalnya, matinya atau merosotnya Agama
Buddha di India bukan merosot sembarang merosot melainkan karena Agama Hindu
sudah menyerap banyak ajaran dan prinsip-prinsip Buddha ke dalam tubuhnya. Di
Cina pun, sejumlah besar penduduk yang tidak lagi terang-terangan menyebut
dirinya penganut Buddha dalam praktek kehidupan sehari-hari sebenarnya amat di
pengaruhi oleh filosofi agama.
Agama Buddha, jauh mengungguli baik
Islam maupun Nasrani, punya anasir pacifis yang amat menonjol. Pandangan yang
berpangkal pada tanpa kekerasan ini memainkan peranan penting dalam sejarah
politik negara-negara berpenganut Buddha.
Banyak orang bilang bila suatu saat
kelak Isa turun kembali ke bumi dia akan melongo kaget melihat segala apa yang
dilakukan orang atas namanya, dan akan cemas atas pertumpahan darah yang terjadi
dalam pertentangan antar sekte yang saling berbeda pendapat yang sama-sama
mengaku jadi pengikutnya. Begitu juga akan terjadi pada diri Buddha. Dia tak
bisa tidak akan ternganga-nganga menyaksikan begitu banyaknya sekte-sekte Agama
Buddha yang bertumbuhan di mana-mana, saling berbeda satu sama lain walau
semuanya mengaku pemeluk Buddha. Narnun, bagaimanapun semrawutnya sekte-sekte
yang saling berbeda itu tidaklah sarnpai menimbulkan perang agama berdarah
seperti terjadi di dunia Kristen Eropa. Dalam hubungan ini, paling sedikit
berarti ajaran Buddha tampak jauh mendalam dihayati oleh pemeluknya ketimbang
ajaran-ajaran Isa dalarn kaitan yang sama.
Buddha dan Kong Hu-Cu kira-kira
punya pengaruh setaraf terhadap dunia. Keduanya hidup di kurun waktu yang hampir
bersamaan, dan jumlah pengikutnya pun tak jauh beda. Pilihan saya menempatkan
nama Buddha lebih dulu daripada Kong Hu-Cu dalam urutan disandarkan atas dua
pertimbangan: pertama, perkembangan Komunisme di Cina nyaris menyapu habis
pengaruh Kong Hu -Cu, sedangkan tampaknya masa depan Buddha masih lebih banyak
celah dan pengaruh ketimbang dalam Kong Hu-Cu; kedua, kegagalan ajaran Kong
Hu-Cu menyebar luas ke luar batas Cina menunjukkan betapa erat taut bertautnya
ajaran Kong Hu-Cu dengan sikap dan tata cara jaman Cina lama. Sebaliknya, ajaran
Buddha tak ada mengandung pernyataan ulangan atau mengunyah-ngunyah filosofi
India terdahulu, dan Agama Buddha menyebar melangkah batas pekarangan negerinya
-India- bersandarkan gagasan tulen Gautama serta jangkauan luas filosofinya.