|
|
Putra kedua dari perkawinan Ali bin Abu Talib dengan Fatimah. Dia tidak mau
membaiat Yazid, sehingga dia terbunuh dalam perang Karbala tanggal 10 Muharam 61
H/680 M.
Riwayat Hidup Al-Husein dan Peristiwa
Pembunuhannya
Oleh: Ustadz Muhammad Umar Sewed
Beliau dilahirkan pada bulan Sya’ban tahun ke-empat Hijriyah. Diriwayatkan
bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam men-
tahnik
(yakni mengunyahkan kurma kemudian dimasukkan ke mulut bayi dengan
digosokkan ke langit-langitnya -pent.), mendoakan dan menamakannya Al-Husein.
Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam
Al-Bidayah wan Nihayah,
juz VIII, hal. 152.
Berkata Ibnul Arabi dalam kitabnya
Al-Awashim minal Qawashim:
“Disebutkan oleh ahli tarikh bahwa surat-surat berdatangan dari ahli kufah
kepada Al-Husein (setelah meninggalnya Mu’awiyah
radhiyallahu ‘anhu).
Kemudian Al-Husein mengirim Muslim Ibnu Aqil, anak pamannya kepada mereka
untuk membai’at mereka dan melihat bagaimana keikutsertaan mereka. Maka Ibnu
Abbas
radhiyallahu ‘anhu memberitahu beliau (Al-Husein) bahwa mereka
dahulu pernah mengkhianati bapak dan saudaranya. Sedangkan Ibnu Zubair
mengisyaratkan kepadanya agar dia berangkat, maka berangkatlah Al-Husein.
Sebelum sampai beliau di Kufah ternyata Muslim Ibnu Aqil telah terbunuh dan
diserahkan kepadanya oleh orang-orang yang memanggilnya. “Cukup bagimu ini
sebagai peringatan bagi yang mau mengambil peringatan” (kelihatannya yang
dimaksud adalah ucapan Ibnu Abbas kepada Al-Husein -pent.).
Tetapi beliau
radhiyallahu ‘anhu tetap melanjutkan perjalanannya
dengan marah karena
dien dalam rangka menegakkan al-haq. Bahkan beliau
tidak mendengarkan nasehat orang yang paling alim pada jamannya yaitu ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu dan menyalahi pendapat syaikh para shahabat yaitu
Ibnu Umar. Beliau mengharapkan permulaan pada akhir (hidup -pent.), mengharapkan
kelurusan dalam kebengkokan dan mengharapkan keelokan pemuda dalam rapuh
ketuaan. Tidak ada yang sepertinya di sekitarnya, tidak pula memiliki
pembela-pembela yang memelihara haknya atau yang bersedia mengorbankan dirinya
untuk membelanya. Akhirnya kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi
kita tumpahkan darah Al-Husein, maka datang kepada kita musibah yang
menghilangkan kebahagiaan jaman. (lihat
Al-Awashim minal Qawashim oleh
Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dengan tahqiq dan ta’liq Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib,
hal. 229-232)
Yang dimaksud oleh beliau dengan ucapannya ‘
Kita ingin mensucikan bumi
dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah Al-Husein‘adalah bahwa niat
Al-Husein dengan sebagian kaum muslimin untuk mensucikan bumi dari khamr Yazid
yang hal ini masih merupakan tuduhan-tuduhan dan tanpa bukti, tetapi hasilnya
justru kita menodai bumi dengan darah Al-Husein yang suci. Sebagaimana dikatakan
oleh Syaikh Muhibbudin Al-Khatib dalam
ta’liq-nya terhadap buku
Al-Awashim Minal Qawashim.
Ketika Al-Husein ditahan oleh tentara Yazid, Samardi Al-Jausyan mendorong
Abdullah bin Ziyad untuk membunuhnya. Sedangkan Al-Husein meminta untuk
dihadapkan kepada Yazid atau dibawa ke front untuk berjihad melawan orang-orang
kafir atau kembali ke Mekah. Namun mereka tetap membunuh Al-Husein dengan
dhalim sehingga beliau meninggal dengan syahid
radhiyallahu ‘anhu. Inna
Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Al-Husein terbunuh di Karbala di dekat
Eufrat dan jasadnya dikubur di tempat terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim
ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad di Kufah. Demikianlah yang diriwayatkan oleh
Bukhari dalam Shahihnya dan dari para imam yang lain.
Adapun tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam
beberapa jalan yang
munqathi’ (terputus) dan tidak benar sedikitpun
tentangnya.
Bahkan dalam riwayat-riwayat tampak sesuatu yang menunjukkan kedustaan dan
pengada-adaan riwayat tersebut. Disebutkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi
taringnya dengan besi dan bahwasanya sebagian para shahabat yang hadir seperti
Anas bin Malik, Abi Barzah dan lain-lain mengingkarinya. Hal ini adalah
pengkaburan, karena sesungguhnya yang menusuk dengan besi adalah ‘Ubaidilah bin
Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih dan musnad, bahwasanya mereka
menempatkan Yazid di tempat ‘Ubaidilah bin Ziyad. Adapun ‘Ubaidillah, tidak
diragukan lagi bahwa dialah yang memerintahkan untuk membunuhnya (Husein) dan
memerintahkan untuk membawa kepalanya ke hadapan dirinya. Dan akhirnya Ibnu
Ziyad pun dibunuh karena itu.
Dan lebih jelas lagi bahwasanya para shahabat yang tersebut tadi seperti Anas
dan Abi Barzah tidak berada di Syam, melainkan berada di Iraq ketika itu.
Sesungguhnya para pendusta adalah orang-orang jahil (bodoh), tidak mengerti
apa-apa yang menunjukkan kedustaan mereka.”
(Majmu’ Fatawa, juz IV,
hal. 507-508)
Adapun yang di
rajihkanoleh para ulama tentang kepala Al-Husein bin
Ali
radhiyallahu ‘anhuma adalah sebagaimana yang disebutkan oleh
az-Zubair bin Bukar dalam kitabnya
Ansab Quraisy dan beliau adalah
seorang yang paling
‘alim dan paling
tsiqah dalam masalah ini
(tentang keturunan Quraisy). Dia menyebutkan bahwa kepala Al-Husein dibawa ke
Madinah An-Nabawiyah dan dikuburkan di sana. Hal ini yang paling cocok, karena
di sana ada kuburan saudaranya Al-Hasan, paman ayahnya Al-Abbas dan anak Ali dan
yang seperti mereka. (Dalam sumber yang sama, juz IV, hal. 509)
Demikianlah Al-Husain bin Ali
radhiyallahu ‘anhuma terbunuh pada
hari Jum’at, pada hari ‘Asyura, yaitu pada bulan Muharram tahun 61 H dalam usia
54 tahun 6 bulan. Semoga Allah merahmati Al-Husein dan mengampuni seluruh
dosadosanya serta menerimanya sebagai syahid. Dan semoga Allah membalas para
pembunuhnya dan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih.
Amin.
Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Yazid bin
Mu’awiyyah
Untuk membahas masalah ini kita nukilkan saja di sini ucapan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah secara lengkap dari
Fatawa-nyasebagai berikut :
Belum terjadi sebelumnya manusia membicarakan masalah Yazid bin Muawiyyah
dan tidak pula membicarakannya termasuk masalah Dien. Hingga terjadilah setelah
itu beberapa perkara, sehingga manusia melaknat terhadap Yazid bin Muawiyyah,
bahkan bisa jadi mereka menginginkan dengan itu laknat kepada yang lainnya.
Sedangkan kebanyakan Ahlus Sunnah tidak suka melaknat orang tertentu. Kemudian
suatu kaum dari golongan yang ikut mendengar yang demikian meyakini bahwa Yazid
termasuk orang-orang shalih yang besar dan Imam-imam yang mendapat petunjuk.
Maka golongan yang melampaui batas terhadap Yazid menjadi dua sisi yang
berlawanan :
Sisi pertama, mereka yang mengucapkan bahwa dia kafir zindiq dan
bahwasanya dia telah membunuh salah seorang anak perempuan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, membunuh shahabat-shahabat Anshar, dan anak-anak
mereka pada kejadian
Al-Hurrah (pembebasan Madinah) untuk menebus
dendam keluarganya yang dibunuh dalam keadaan kafir seperti kakek ibunya ‘Utbah
bin Rab’iah, pamannya Al-Walid dan selain keduanya. Dan mereka menyebutkan pula
bahwa dia terkenal dengan peminum khamr dan menampakkan maksiat-maksiatnya.
Pada
sisi lain, ada yang meyakini bahwa dia (Yazid) adalah imam yang
adil, mendapatkan petunjuk dan memberi petunjuk. Dan dia dari kalangan shahabat
atau pembesar shahabat serta salah seorang dari wali-wali Allah. Bahkan sebagian
dari mereka meyakini bahwa dia dari kalangan para nabi. Mereka mengucapkan bahwa
barangsiapa tidak berpendapat terhadap Yazid maka Allah akan menghentikan dia
dalam neraka Jahannam. Mereka meriwayatkan dari Syaikh Hasan bin ‘Adi bahwa dia
adalah wali yang seperti ini dan seperti itu. Barangsiapa yang berhenti (tidak
mau mengatakan demikian), maka dia berhenti dalam neraka karena ucapan mereka
yang demikian terhadap Yazid. Setelah zaman Syaikh Hasan bertambahlah
perkara-perkara batil dalam bentuk syair atau prosa. Mereka
ghuluw
kepada Syaikh Hasan dan Yazid dengan perkara-perkara yang menyelisihi apa yang
ada di atasnya Syaikh ‘Adi yang agung -semoga Allah mensucikan ruhnya-. Karena
jalan beliau sebelumnya adalah baik, belum terdapat bid’ah-bid’ah yang seperti
itu, kemudian mereka mendapatkan bencana dari pihak Rafidlah yang memusuhi
mereka dan kemudian membunuh Syaikh Hasan bin ‘Adi sehingga terjadilah fitnah
yang tidak disukai Allah dan Rasul-Nya.
Dua sisi ekstrim terhadap Yazid tersebut menyelishi apa yang
disepakati oleh para ulama dan Ahlul Iman. Karena sesungguhnya Yazid
bin Muawiyyah dilahirkan pada masa khalifah Utsman bin ‘Affan radliallahu ‘anhu
dan tidak pernah bertemu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tidak
pula termasuk shahabat dengan kesepakatan para ulama. Dia tidak pula terkenal
dalam masalah Dien dan keshalihan. Dia termasuk kalangan pemuda-pemuda muslim
bukan kafir dan bukan pula zindiq. Dia memegang kekuasaan setelah ayahnya dengan
tidak disukai oleh sebagian kaum muslimin dan diridlai oleh sebagian yang lain.
Dia memiliki keberanian dan kedermawanan dan tidak pernah menampakkan
kemaksiatan-kemaksiatan sebagaimana dikisahkan oleh musuh-musuhnya.
Namun pada masa pemerintahannya telah terjadi perkara-perkara besar yaitu
:
1. Terbunuhnya Al-Husein
radhiyallahu ‘anhu
sedangkan Yazid tidak memerintahkan untuk membunuhnya dan tidak pula
menampakkan kegembiraan dengan pembunuhan Husein serta tidak memukul gigi
taringnya dengan besi. Dia juga tidak membawa kepala Husein ke Syam. Dia
memerintahkan untuk melarang Husein dengan melepaskannya dari urusan walaupun
dengan memeranginya. Tetapi para utusannya melebihi dari apa yang
diperintahkannya tatkala Samardi Al-Jausyan mendorong ‘Ubaidillah bin Ziyad
untuk membunuhnya. Ibnu Ziyad pun menyakitinya dan ketika Al-Husein
radhiyallahu ‘anhu meminta agar dia dibawa menghadap Yazid, atau diajak
ke front untuk berjihad (memerangi orang-orang kafir bersama tentara Yazid
-pent), atau kembali ke Mekkah, mereka menolaknya dan tetap menawannya. Atas
perintah Umar bin Sa’d, maka mereka membunuh beliau dan sekelompok Ahlul Bait
radhiyallahu ‘anhum dengan dhalim. Terbunuhnya beliau
radhiyallahu
‘anhu termasuk musibah besar, karena sesungguhnya terbunuhnya Al-Husein
-dan ‘Utsman bin ‘Affan sebelumnya- adalah penyebab fitnah terbesar pada umat
ini. Demikian juga pembunuh keduanya adalah makhluk yang paling jelek di sisi
Allah. Ketika keluarga beliau
radhiyallahu ‘anhu mendatangi Yazid bin
Mua’wiyah, Yazid memuliakan mereka dan mengantarkan mereka ke Madinah.
Diriwayatkan bahwa Yazid melaknat Ibnu Ziyad atas pembunuhan Husein dan
berkata : “A
ku sebenarnya meridlai ketaatan penduduk Irak tanpa pembunuhan
Husein.”
Tetapi dia tidak menampakkan pengingkaran terhadap pembunuhnya, tidak membela
serta tidak pula membalasnya, padahal itu adalah wajib bagi dia. Maka akhirnya
Ahlul Haq mencelanya karena meninggalkan kewajibannya, ditambah lagi dengan
perkara-perkara yang lain. Sedangkan musuh-musuh mereka menambahkan
kedustaan-kedustaan atasnya.
2. Ahlil Madinah membatalkan bai’atnya kepada Yazid dan
mereka mengeluarkan utusan-utusan dan penduduknya. Yazid pun mengirimkan tentara
kepada mereka, memerintahkan mereka untuk taat dan jika mereka tidak mentaatinya
setelah tiga hari mereka akan memasuki Madinah dengan pedang dan menghalalkan
darah mereka. Setelah tiga hari, tentara Yazid memasuki Madinah an-Nabawiyah,
membunuh mereka, merampas harta mereka, bahkan menodai kehormatan-kehormatan
wanita yang suci, kemudian mengirimkan tentaranya ke Mekkah yang mulia dan
mengepungnya. Yazid meninggal dunia pada saat pasukannya dalam keadaan mengepung
Mekkah dan hal ini merupakan permusuhan dan kedzaliman yang dikerjakan atas
perintahnya.
Oleh karena itu, keyakinan Ahlus Sunnah dan para imam-imam umat ini adalah
mereka tidak melaknat dan tidak mencintainya. Shalih bin Ahmad bin Hanbal
berkata: Aku katakan kepada ayahku: “Sesungguhnya suatu kaum mengatakan bahwa
mereka cinta kepada Yazid.” Maka beliau rahimahullah menjawab: “Wahai anakku,
apakah akan mencintai Yazid seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir?”
Aku bertanya: “Wahai ayahku, mengapa engkau tidak melaknatnya?” Beliau menjawab:
“Wahai anakku, kapan engkau melihat ayahmu melaknat seseorang?”
Diriwayatkan pula bahwa ditanyakan kepadanya : “
Apakah engkau menulis
hadits dari Yazid bin Mu’awiyyah?” Dia berkata: “
Tidak, dan tidak ada
kemulyaan, bukankah dia yang telah melakukan terhadap ahlul Madinah apa yang dia
lakukan?”
Yazid menurut ulama dan Imam-imam kaum muslimin adalah raja dari raja-raja
(Islam -pent). Mereka tidak mencintainya seperti mencintai orang-orang shalih
dan wali-wali Allah dan tidak pula melaknatnya. Karena sesungguhnya mereka tidak
suka melaknat seorang muslim secara khusus (
ta yin), berdasarkan apa
yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam
Shahih-nya dari Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu: Bahwa seseorang yang dipanggil dengan Hammar sering minum
khamr.
Acap kali dia didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
dicambuknya. Maka berkatalah seseorang: “Semoga Allah melaknatnya. Betapa sering
dia didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jangan engkau melaknatnya,
sesungguhnya dia mencintai Allah dan Rasul-Nya. ” (HR.
Bukhari)
Walaupun demikian di kalangan Ahlus Sunnah juga ada yang membolehkan
laknat terhadapnya karena mereka meyakini bahwa Yazid telah melakukan
kedhaliman yang menyebabkan laknat bagi pelakunya.
Kelompok yang lain berpendapat untuk mencintainya karena dia seorang muslim
yang memegang pemerintahan di zaman para shahabat dan
dibai’at oleh
mereka. Serta mereka berkata: “Tidak benar apa yang dinukil tentangnya padahal
dia memiliki kebaikan-kebaikan, atau dia melakukannya dengan ijtihad.”
Pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh para imam (Ahlus Sunnah),
bahwa mereka tidak mengkhususkan kecintaan kepadanya dan tidak pula
melaknatnya. Di samping itu kalaupun dia sebagai orang yang fasiq atau dhalim,
Allah masih mungkin mengampuni orang fasiq dan dhalim. Lebih-lebih lagi kalau
dia memiliki kebaikan-kebaikan yang besar.
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam
Shahihnya dari Ummu Harran binti
Malhan radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
َ…وَأَوَّلُ
جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِى يَغْزُوْنَ مَدِيْنَةَ قَيْصَرَ مَغْفُوْرٌ لَهُمْ. (رواه
البخارى)
Tentara pertama yang memerangi Konstantiniyyah akan diampuni.
(HR. Bukhari)
Padahal tentara pertama yang memeranginya adalah di bawah pimpinan Yazid bin
Mu’awiyyah dan pada waktu itu Abu Ayyub al-Anshari
radhiyallahu ‘anhu
bersamanya.
Catatan :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah melanjutkan setelah itu dengan ucapannya :
“
Kadang-kadang sering tertukar antara Yazid bin Mu’ awiyah dengan
pamannya Yazid bin Abu Sufyan. Padahal sesungguhnya Yazid bin Abu Sufyan adalah
dari kalangan Shahabat, bahkan orang-orang pilihan di antara mereka dan dialah
keluarga Harb (ayah Abu Sufyan bin Harb -pent) yang terbaik. Dan beliau adalah
salah seorang pemimpin Syam yang diutus oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu
‘anhu ketika pembebasan negeri Syam. Abu Bakar ash-Shiddiq pernah berjalan
bersamanya ketika mengantarkannya, sedangkan dia berada di atas kendaraan. Maka
berkatalah Yazid bin Abu Sufyan: “Wahai khalifah Rasulullah, naiklah! (ke atas
kendaraan) atau aku yang akan turun.” Maka berkatalah Abu Bakar: “Aku tidak
akan naik dan engkau jangan turun, sesungguhnya aku mengharapkan hisab dengan
langkah-langkahku ini di jalan Allah. Ketika beliau wafat setelah pembukaan
negeri Syam di zaman pemerintahan Umar
radhiyallahu ‘anhu, beliau
mengangkat saudaranya yaitu Mu’awiyah untuk menggantikan kedudukannya.
Kemudian Mu’awiyah mempunyai anak yang bernama Yazid di zaman pemerintahan
‘Utsman ibnu ‘Affan dan dia tetap di Syam sampai terjadi peristiwa yang
terjadi.
Yang wajib adalah untuk meringkas yang demikian dan berpaling dari
membicarakan Yazid bin Mu’awiyah serta bencana yang menimpa kaum muslimin
karenanya dan sesungguhnya yang demikian merupakan bid’ah yang menyelisihi ahlus
sunnah wal jama’ah. Karena dengan sebab itu sebagian orang bodoh meyakini bahwa
Yazid bin Mu`awiyah termasuk kalangan shahabat dan bahwasanya dia termasuk
kalangan tokoh-tokoh orang shalih yang besar atau imam-imam yang adil. Hal ini
adalah kesalahan yang nyata.” (Diambil dari
Majmu’ Fatawa, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, jilid 3, hal. 409-414)
Bid’ah-bid’ah yang Berhubungan dengan
Terbunuhnya Al-Husein
Kemudian muncullah bid’ah-bid’ah yang banyak yang diadakan oleh kebanyakan
orang-orang terakhir berkenaan dengan perisiwa terbunuhnya Al-Husein,
tempatnya, waktunya dan lain-lain. Mulailah mereka mengada-adakan
An-Niyaahah (ratapan) pada hari terbunuhnya Al-Husein yaitu pada hari
‘Asyura (10 Muharram), penyiksaan diri, mendhalimi binatang-binatang
ternak, mencaci maki para
wali Allah (para shahabat) dan mengada-adakan
kedustaan-kedustaan yang diatasnamakan
ahlul bait serta
kemungkaran-kemungkaran yang jelas dilarang dalam kitab Allah dan sunnah
Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berdasarkan kesepakatan
kaum muslimin.
Al-Husein
radhiyallahu ‘anhu telah dimuliakan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala dengan mati syahid pada hari
‘Asyura dan
Allah telah menghinakan pembunuhnya serta orang yang mendukungnya atau ridla
dengan pembunuhannya. Dan dia mempunyai teladan pada orang sebelumnya dari para
syuhada, karena sesungguhnya dia dan saudaranya adalah penghulu para pemuda
ahlul jannah. Keduanya telah dibesarkan pada masa kejayaan Islam dan
tidak mendapatkan hijrah, jihad, dan kesabaran atas gangguan-gangguan di jalan
Allah sebagaimana apa yang telah didapati oleh
ahlul bait sebelumnya.
Maka Allah mulyakan keduanya dengan syahid untuk menyempurnakan kemulyaan dan
mengangkat derajat keduanya.
Pembunuhan beliau merupakan musibah besar dan Allah
subhanahu wa ta’ala
telah mensyari’atkan untuk mengucapkan
istirja’ (
Inna lillahi
wa inna ilaihi raji’un)ketika musibah dalam ucapannya :
َ…وَبَشِّرِ
الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ
وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ
وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ.
….
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orangyang sabar, (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa
lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.
Mereka itulah yang mendapatkan
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang
yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah:
155-157)
Sedangkan mereka yang mengerjakan apa-apa yang dilarang oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka meratapinya seperti memukul
pipi, merobek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah, maka balasannya
sangat keras sebagaimana diriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, berkata: Bersabda Rasulullah
shallallahu
`alaihi wa sallam :
َلَيْسَ
مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُوْدَ، وَشَقَّ الْجُيُوْبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى
الْجَاهِلِيَّةِ. (رواه البخارى ومسلم)
Bukan dari golongan kami, siapa yang memukul-mukul pipi, merobek-robek
baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah. (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dalam hadits lain, juga dalam Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari
radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata: “Aku berlepas diri dari
orang-orang yang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri
darinya, yaitu bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
berlepas diri dari al-haliqah, ash-shaliqah dan asy-syaaqqah. (
HR.
Bukhari dan Muslim)
Dan dalam Shahih Muslim dari Abi Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َأَرْبَعٌ
فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ: الْفَخْرُ فِى
اْلأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى اْلأَنْسَابِ وَاْلإِسْتِسْقَاءُ بِالنُجُوْمِ
وَالنِّيَاحَةُ. (رواه مسلم)
Empat perkara yang terdapat pada umatku dari perkara perkara jahiliyah
yang mereka tidak meninggalkannya: bangga dengan kedudukan, mencela nasab
(keturunan), mengharapkan hujan dengan bintang-bintang dan meratapi mayit.
(HR. Muslim)
Dan juga beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َ…وَإِنَّ
النَّائِحَةَ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ الْمَوْتِ جَائَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
عَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانِ، وَدَرْعٌ مِنْ لَهَبِ النَّارِ. (صحيح رواه
أحمد والطبرانى والحاكم)
Sesungguhnya perempuan tukang ratap jika tidak bertaubat sebelum matinya
dia akan dibangkitkan di hari kiamat sedangkan atasnya pakaian dari timah dan
pakaian dada dari nyala api neraka. (HR. Ahmad, Thabrani dan
Hakim)
Hadits-hadits tentang masalah ini bermacam-macam.
Demikianlah keadaan orang yang meratapi mayit dengan memukul-mukul badannya,
merobek-robek bajunya dan lain-lain. Maka bagaimana jika ditambah lagi bersama
dengan itu kezaliman terhadap orang-orang mukmin (para shahabat), melaknat
mereka, mencela mereka, serta sebaliknya membantu
ahlu syiqaq
orang-orang munafiq dan ahlul bid’ah dalam kerusakan
dien yang
mereka tuju serta kemungkaran lain yang Allah lebih mengetahuinya.
Sumber :
- Minhajus-Sunnah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
- Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
- Al-’Awashim Minal Qawashim, oleh Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi
dengan tahqiq dan ta’liq Syaikh Muhibbudin Al-Khatib.
- Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir.
- Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
- Shahih Muslim dengan Syarh Nawawi.
- Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani. |